Sabtu, 15 Mei 2010

MASALAH PUASA

1. Niat puasa: (a). Niat disyariatkan dalam puasa Ramadhan, juga puasa wajib lainnya seperti puasa qadha’ dan dan kaffarat. Dan hendaknya niat itu dilakukan di malam hari, meskipun beberapa saat sebelum terbitnya fajar. Niat adalah keinginan hati untuk melakukan suatu perbuatan tanpa diikuti dengan ucapan. Orang yang berpuasa Ramadhan, tidak perlu memperbaharui niatnya setiap malam Ramadhan, tetapi cukup baginya niat puasa Ramadhan sebulan ketika masuk bulan Ramadhan.
(b). Puasa sunnah mutlak tidak disyaratkan niat sejak malam hari. Adapun puasa sunnah tertentu (puasa Arafah misalnya), untuk kehati-hatian maka hendaknya diniatkan sejak malam hari.
2. Barangsiapa melakukan puasa wajib seperti puasa qadha’, nadzar dan kaffarat maka ia harus menyempurnakan puasanya dan tidak boleh berbuka tanpa udzur. Sedangkan orang yang puasa sunnah, maka jika dia menghendaki boleh berbuka, meskipun tanpa uzdur.
3. (a). Orang yang tidak mengetahui telah masuk bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar maka hendaknya ia menahan dari makan dan minum pada hari itu, lalu mengqadha’nya pada hari lain. Demikian menurut jumhur (mayoritas) para ulama. (b). Orang yang dipenjara atau ditawan , jika mengetahui masuknya bulan Ramadhan dengan menyaksikan atau mendengar berita dari orang yang terpercaya maka ia wajib berpuasa. Jika tidak, maka hendaknya ia berijtihad sendiri dan melakukan apa yang paling kuat menurut dugaannya.
4. Berbuka dan menahan diri (puasa): (a). Bila seluruh matahari telah tenggelam maka itulah waktu berbuka bagi orang yang berpuasa. Dan tidak ada pengaruhnya warna merah yang masih tampak di ufuk. (b). Jika fajar telah terbit, maka orang yang berpuasa wajib menahan diri (dari makan dan minum serta yang membatalakan puasa) seketika, baik mendengar adzan atau tidak. Adapun menahan diri –sebagai bentuk kehati-hatian—sebelum fajar sekitar 10 menit (padahal masih membutuhkan makan dan minum) maka hal itu tidak dibenarkan. (c). Negeri yang malam dan siangnya sepanjang 24 jam maka bagi umat Islam di dalamnya wajib berpuasa, meskipun siangnya lebih lama dari malamnya.
5. Yang membatalkan puasa: (a). Seseorang yang membatalkan puasanya –selain karena haid dan nifas- tidak dikatakan membatalkan puasanya kecuali dengan tiga syarat: 1- Hendaknya dalam keadaan mengerti, tidak bodoh; 2-Dalam keadaan ingat, bukan sedang lupa; 3-Dengan keinginan sendiri, bukan dipaksa. Adapun yang termasuk pembatal puasa adalah bersetubuh, sengaha muntah, ihtijam (bekam) serta makan dan minum dengan sengaja. (b). Termasuk pembatal puasa yang semakna dengan makan dan minum adalah obat-obatan atau serbuk yang ditelan melalui mulut, suntikan yang mengenyangkan, demikian juga transfusi darah. Adapun suntikan yang bukan pengganti makan atau minum maka, tetapi untuk pengobatan, maka hal itu tidak membahayakan puasanya, membersihkan ginjal juga tidak membatalkan puasa. Dan menurut pendapat yang kuat, obat tetes mata dan telinga, mencopot gigi serta mengobati luka, tidaklah membatalkan puasa. Demikian pula dengan mengambil darah untuk diagnosa tidak membatalkan puasa. Obat tenggorokan selama tidak ditelan juga tidak membatalkan. Barangsiapa menambal giginya lalu mendapatkan rasa mint (sejuk) atau lainnya maka hal itu tidak membatalkan puasanya. (b) . Barangsiapa makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan tanpa uzdur maka dia telah berbuat dosa besar, ia harus tobat dan mengqadha’ (mengganti) puasanya. (c). Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaknya ia tetap melanjutkan puasanya, karena itu merupakan karunia dari Allah. Jika melihat orang yang makan dan minum karena lupa maka ia harus mengingatkannya. (d). Barangsiapa membutuhkan berbuka untuk menolong orang yang mau binasa maka hendaknya ia berbuka dan mengqadha puasanya.
6. (a). Barangsiapa menyetubuhi isterinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tanpa dipaksa maka dia telah merusak puasanya. Ia wajib bertobat dan melanjutkan puasanya pada hari itu serta wajiba mengqadha’ dan membayar kaffarat mughallazhah (denda berat). Dan hal yang sama juga berlaku hukumnya pada orang yang berzina, melakukan homoseksual atau menyetubuhi binatang. (b). Jika ia berkeinginan menyetubuhi isterinya dengan berbuka terlebih dahulu dengan makan atau minum maka dosanya lebih besar, sebab ia telah mencemarkan kesucian Ramadhan dua kali, yakni dengan makan dan bersetubuh. (c). Seorang suami yang mencium, bermesraan, berpelukan, bersentuhan dan memandang berkali-kali terhadap isterinya, jika bisa mengendalikan nafsunya adalah dibolehkan, tetapi jika ia orang yang mudah terangsang birahinya maka hal itu tidak dibolehkan. (d). Jika ia sedang menyetubuhi isterinya tiba-tiba fajar (terdengar adzan) maka ia harus sengera menyudahinya. Puasanya tetap sah, meskipun ia mengeluarkan mani setelah menyudahinya. Jika ia masih tetap menlanjutkannya padahal fajar telah terbit maka berarti ia telah berbuka, dan karenanya ia wajib tobat, mengqadha’ puasanya dan membayar kaffarat mughallazhah.
7. (a). Jika pagi hari ia dalam keadaan junub, mka hal itu tidak membatalkan puasanya. Ia boleh mengakhirkan mandi jari junub, haid dan nifas hingga setelah terbit fajar, tetapi ia harus bersegera sehingga mendapatkan shalat Shubuh berjamaah. (b). Jika orang yang puasa mimpi dengan mengeluarkan mani hal itu membatalkan puasanya menurut ijma’ (kesepakatan) ulama, dan ia tetap wajib melanjutkan puasanya. (c). Barangsiapa mengeluarkan mani pada siang hari bulan Ramadhan dengan sesuatu yang mungkin dijaga, seperti menyentuh atau memandang yang berulang-ulang maka ia wajib tobat kepada Allah dan menahan diri dari makan dan minum pada sisa harinya, lalu ia wajib mengqadhanya pada hari lain.
8. Barangsiapa muntah tanpa sengaja maka tidak wajib mengqadha’ puasanya tetapi, barangsiapa muntah dengan sengaja maka ia wajib mengqadhanya. Adapun mengunyah permen karet manis atau ada rasa lain maka mengunyahnya adalah haram. Jika ada sesuatu yang yang masuk ke tenggorokannya karenanya maka batal puasanya. Adapun dahak atau ingus, jika ia tertelan sampai di mulut maka tidaklah membatalkan puasa, jika ia telan setelah sampai di mulut maka menjadi batal puasanya. Adapun mencicipi makanan tanpa diperlukan hukumnya makruh.
9. Siwak hukumnya sunnah bagi orang yang puasa pada sepanjang siang hari
10. Sesuatu yang terjadi pada orang puasa seperti luka, mimisan, masuknya air cairan lain ke tenggorokannya tanpa sengaja maka hal itu tidak merusak puasa. Demikian pula halnya meminyaki rambut atau kumis atau mencium wangi-wangian.
11. Merokok adalah salah satu yang membatalkan puasa. Dan ia tidak boleh menjadi sebab sehingga sesorang meninggalkan puasa.
12. Berendam di dalam air atau berselimut dengan kain yang dibasahi untuk mendapat kesejukan tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa.
13. Jika seseorang makan, minum atau menyetubuhi isterinya karena mengira waktu masih malam, tetapi ternyata telah terbit fajar maka ia tidak berdosa dan tetap melanjutkan puasanya.
14. Jika ia berbuka karena mengira matahari telah tenggelam padahal belum, maka menurut jumhur ulama ia wajib mengqadha puasanya.
15. Jika telah terbit fajar seorang dimulutnya masih ada makanan atau minuman maka para fuqaha (Para Ahli Fiqih) sepakat bahwa ia harus memuntahkannya dari puasanya sah.
16. Hukum puasa wanita: (a). Jika wanita melihat lendir putih dan dia tahu bahwa dia telah suci maka ia wajib meniatkan puasa sejak malam. Jika ia tidak mengetahui tentang status kesuciannya maka hendaknya dia mengusapnya dengan kapas atau sejenisnya. Jika kapas itu dikeluarkan dalam keadaan bersih maka ia berpuasa. Dan seorang wanita haid atau nifas, jika darahnya berhenti pada malam hari lalu niat puasa, kemudian terbit fajar sebelum mandi maka menurut segenap ulama, puasanya adalah sah. (b). Wanita yang mengetahui bahwa kebiasaan haidnya adalah besok misalnya, maka ia tetap harus tetap dalam niat puasa, dan tidak boleh berbuka sampai ia melihat darah. (c). Yang paling utama bagi wanita haid adalah menerima sunatullah pada dirinya, ridha dengannya dan tidak mencari jalan untuk menghentikan haid pada bulan ramadhan. (d). Jika wanita hamil keguguran, dan janinnya telah berbentuk maka ia dalam keadaan nifas dan tidak boleh berpuasa. Jika belum berbentuk maka ia adalah darah istihadhah (penyakit) dan wajib berpuasa jika ia mampu. Orang yang nifas jika telah suci sebelum 40 hari maka ia niat puasa dan mandi untuk shalat. Dan jika lebih dari 40 hari maka ia niat puasa dan mandi serta darah yang keluar dianggap darah istihadhah. (e). Pendapat yang kuat dengan meng-qiyaskan orang hamil dan menyusui dengan orang sakit. Keduanya boleh berbuka dan tidak ada kewajiban selain qadha, baik tidak puasa karena takut terhadap dirinya atau terhadap anak yang dikandungnya. (f). Perempuan yang wajib puasa jika disetubuhi oleh suaminya pada siang hari Ramadhan dengan kerelaannya maka hukum baginya adalah sama dengan hukum suaminya. Tetapi jika ia dipaksa maka is harus berusaha menolaknya, dan ia tidak wajib membayar kaffarat karenanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar