Rabu, 08 September 2010

Siapakah Ahlus-Sunnah Sejati?

Telah menjadi suatu kepastian bahwa umat ini akan berpecah-belah menjadi tujuh puluh tiga golongan. Tidak ada yang selamat dari neraka kecuali hanya satu saja. Yaitu yang konsisten memegang wasiat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sepeninggal Beliau. Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, satu-satunya golongan yang selamat dari fitnah perpecahan tersebut. Namun sayang nama ini makin kabur hakikatnya dengan berjalannya waktu. Banyak orang yang mengklaim (mengaku) bahwa dirinyalah Ahlus-Sunnah sejati, tetapi klaim hanyalah bualan semata bila tak ada bukti yang mendukungnya, ibarat perkataan seorang penyair:

Setiap orang mengaku punya hubungan cinta dengan Laila.
Tetapi sayang, Laila menyangkal mereka semua.”

Untuk itulah, –dengan senantiasa meminta pertolongan dan petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta'ala– kami ingin sedikit menguak hakikat Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah yang ramai diperebutkan orang.

Sebab Penamaan

Dinamakan “Ahlus-Sunnah” karena mereka berpegang teguh dengannya, sedangkan dinamakan “Ahlul-Jama'ah” sebab mereka bersatu diatas Sunnah tersebut. (Fatawa Arkanil-Islam karangan Ibnu 'Utsaimin : 21)1

Dan nama ini menjadi populer ketika bid'ah mulai tampak, lantas diberilah lafazh as-sunnah sebagai lawan dari bid'ah, dan al-jama'ah sebagai lawan dari perpecahan maupun pengkafiran kaum muslimin dengan sebab dosa besar serta lawan dari memberontak atas pemerintah yang sah. (lihat al-Mausu'ah al-Muyassarah karangan Dr. al-Mani' bin Hammad al-Juhani : 2/989).

Siapakah Ahlus-Sunnah?

Dalam konteks umum, kata Ahlus-Sunnah dapat diartikan sebagai lawan dari Syi'ah Rafidhah. Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan; “Itu karena Rafidhah telah masyhur dengan penyelisihan mereka terhadap Sunnah, maka dari itu mayoritas umum (masyarakat awam) tidak mengenal siapa musuh Sunni selain Rafidhi.” (Majmu' Fatawa : 3/356 dalam al-Mausu'ah al-Muyassarah : 2/988).

Maka dengan dasar ini Asya'irah ataupun Maturidiyah dapat masuk dalam pengertian tadi.

Adapun makna yang lebih khusus, Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah ialah orang yang berada diatas petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam sisi keilmuan, keyakinan, perkataan, perbuatan, adab, maupun perilaku. Merekalah pendahulu umat ini dari golongan sahabat, tabi'in, serta siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari akhir kelak. (Lihat al-Mausu'ah al-Muyassarah : 2/987)2

Jadi Ahlus-Sunnah ialah orang yang mengamalkan Sunnah dan bukan orang yang sekedar mengklaim dirinya mengikuti Sunnah.

Bagaimana Ciri-ciri Mereka?

Ciri-ciri Ahlus-Sunnah ialah:

  1. Mereka adalah kaum minoritas (sedikit) di tengah-tengah masyarakat jelek yang mayoritas (banyak). (Lihat HR. Ahmad : 2/177, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilatu al-Ahadits ash-Shahihah : 1619).

  2. Berpemahaman dengan pemahaman para sahabat serta orang-orang yang mengikuti mereka dalam beragama. (Lihat QS. an-Nisa' [4] : 115 dan Ushulus-Sunnah oleh Imam Ahmad bagian awal).

  3. Mereka mendahulukan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala atau hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam atas semua perkataan orang, siapa pun dia. (lihat QS. an-Nur [24] : 63, dan HR. Ahmad : 1/337 yang dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir nomor 31321).

  4. Mereka tidak mau diikat dengan perjanjian apa pun kecuali perjanjian yang telah Allah Subhanahu wa Ta'ala ambil atas mereka dalam kitab-Nya. (Lihat ad-Da'wah Ilallah karangan Syaikh Ali al-Halabi : 123-124).

  5. Tidak memberontak kepada pemerintah yang sah. (Lihat QS. an-Nisa' [4] : 59, Aqidah Thahawiyyah poin ke 71-73).

  6. Cinta dan benci mereka hanya didasari karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, bukan karena golongan atau tokoh (HR. ath-Thabrani : 3/125/2 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah : 988).

  7. Mereka meyakini hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang berbunyi; “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.” (HR. Abu Dawud : 4682, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud : 3/141).

Kapankan Seseorang Dihukumi Keluar dari Ahlus-Sunnah?

Imam Ahmad rahimahullah pernah mengatakan; “Mengeluarkan seseorang dari as-Sunnah adalah sesuatu yang berat.” (as-Sunnah karangan al-Khollal : 1/373, lihat Fatawa Ulama' fit-Tahdzir min Jama'atil-Hajri : 12).

Seseorang tidak boleh dibid'ahkan atau dihukumi keluar dari Ahlus-Sunnah hanya karena kesalahannya dalam masalah ijtihadiyyah. (Lihat Mauqif Ahlus-Sunnah min Ahlil-Ahwa' karangan Dr. Ibrahim ar-Ruhaili : 1/38).

Seseorang belum dikeluarkan dari Ahlus-Sunnah lantaran kekurangannya dalam masalah ibadah, akhlak, atau muamalah, hanya saja derajat mereka bertingkat-tingkat menurut amalnya. Barangkali kekurangan dalam masalah tauhid seperti ikhlas atau melakukan bid'ah yang dapat mengeluarkannya dari Ahlus-Sunnah, baru bisa dikatakan keluar. (Lihat Fatawa Arkanil-Islam : 23).

Tuduhan dan Sangkaan yang Keliru

Setidaknya ada dua tuduhan dan sangkaan yang perlu diluruskan berkaitan dengan Ahlus-Sunnah, yaitu:

  1. Ahlus-Sunnah adalah nama baru yang muncul sekitar abad ke-3 atau ke-7 Hijriyah, jadi tidak ada asalnya dan bahkan menjadi bid'ah.

  2. Klaim bahwa diri sendiri yang benar merupakan sebab terpecahnya kesatuan umat.

Jawaban:

  1. Ini tidak bisa diterima, bahkan yang menjadi fakta ialah penamaan itu telah ada jauh sebelum al-Asy'ari, Ahmad bin Hambal, maupun Ibnu Taimiyyah lahir.

    Dalam surat Ali Imran [3] : 106 Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan:

    Artinya: “Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri, dan ada pula muka yang hitam muram. Adapun orang-orang yang hitam-muram mukanya (kepada mereka dikatakan): "Kenapa kamu kafir sesudah kamu beriman? Karena itu rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu.

    Ibnu 'Abbas rahimahullah menafsirkan golongan yang putih wajahnya; “Merekalah Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah serta para ulama, sedangkan yang hitam wajahnya adalah ahli bid'ah dan kesesatan.3 (Lihat Tafsir Ibnu Katsir : 1/419).

    Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah menerangkan dalam salah satu riwayat hadits perpecahan umat bahwa yang selamat ialah al-Jama'ah (lihat HR. Ibnu Majah : 3993 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul-Jannah : 33).

  2. Memperingatkan manusia dari kelompok yang menyelisihi Ahlus-Sunnah tidak dianggap memecah-belah kesatuan kaum muslimin sebab para ulama' sejak dahulu tatkala bid'ah mulai muncul mereka telah memeringatkan bahayanya. Bahkan ini merupakan bentuk pemeliharaan Islam dari perpecahan karena pada asalnya merekalah yang mulanya memecah-belah kaum muslimin dengan pemikiran mereka yang baru.4 Sebagai bukti, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pun telah memperingatkan kita akan bahaya Khawarij.

Wasiat untuk Sesama Ahlus-Sunnah

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah mengatakan; “Maka kami memandang wajib atas Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah untuk bersatu walaupun mereka berselisih pendapat dalam berbagai permasalahan menurut pemahaman mereka terhadap dalil yang ada. Perkara ini -alhamdulillah- masih dapat ditoleransi. Yang paling penting, satukan hati, satukanlah semboyan! Tidak diragukan bahwa sesungguhnya para musuh Islam merasa senang bila kita berpecah-belah. Sama saja baik mereka itu terang-terangan atau musuh (dalam selimut) yang menampakkan loyalitas (kecintaan) bagi Islam dan kaum muslimin padahal tidak sama sekali. Yang wajib bagi kita adalah tampil beda dengan ciri khas ini, yaitu ciri khas al-Firqatun-Najiyyah bersatu diatas satu kalimat.” (Fatawa Arkanil-Islam : 26).

Lantas bagaimanakah caranya? Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah menerangkan (al-Ajwibah al-Mufidah : 130-131):

  1. Dengan memperbaiki aqidah. Sebab aqidah yang baiklah yang nantinya akan bisa mengusir rasa iri dan dengki (lihat QS. al-Mu'minun [23] : 52). Dalam hal ini kisah bangsa Arab pra (sebelum) Islam yang menjadi saksi.

  2. Taat dan patuh terhadap pemerintah kaum muslimin karena tidak patuh terhadap mereka merupakan sebab perpecahan (lihat HR. Abu Dawud : 4607, at-Tirmidzi : 2776, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud : 4607).

  3. Kembali kepada kitab Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Sunnah Rasulullah Shallallahu a'alihi wa sallam untuk memutuskan perkara dan perselisihan (lihat QS. An-Nisa' [4] : 59).

  4. Berusaha memperbaiki hubungan antar sesama tatkala mulai muncul persengketaan (lihat QS. Al-Anfal [8] : 1).

  5. Menumpas pemberontak dan Khawarij yang ingin memecah-belah kesatuan kaum muslimin (lihat QS. al-Hujurat [49] : 9).

Semoga bermanfaat.

Catatan Kaki:

  1. ^ Lihat pula dalam al-Ajwibah al-Mufidah karangan Dr. Shalih bin Fauzan : 127, soal nomor 65.
  2. ^ Lihat juga dalam al-Madkhal Lidirasatil-Aqidah al-Islamiyyah karangan Dr. Ibrahim al-Buraikan : 13.
  3. ^ Lihat al-Mausu'ah al-Muyassarah : 2/987.
  4. ^ Lihat al-Ajwibah al-Mufidah : 107.

Imam Empat Taklid Kepada Rasulullah Saw.

Para imam banyak menulis kitab untuk menuangkan pendapatnya tentang berbagai hal. Dalam perkembangannya pendapat-pendapat tersebut membentuk berbagai madzhab, diantaranya adalah 4 (empat) madzhab yang terkenal di Indonesia.

Sayang, banyak yang kemudian terjerumus pada sikap fanatik madzhab, seakan-akan pendapat imam adalah sebuah aksioma agama yang tidak bisa diutak-atik. Sementara para imam tidak pernah menyarankan sikap demikian. Justru para imam tersebut memberikan contoh yang sebaliknya, agar umat Islam selalu mengembalikan pendapat pada petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Berikut perkataan (qaul) mereka.

Abu Hanifah rahimahullah

Qaul 1:Apabila aku mengeluarkan suatu pendapat yang bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, maka tinggalkanlah pendapatku itu.1

Perkataan ini diulas oleh as-Syuhnah dalam kitabnya Syarh al-Hidayah; “Apabila suatu hadits shahih bertentangan dengan madzhab, maka hadits itulah yang mesti diamalkan. Demikian inilah pendapat madzhab Abu Hanifah, jadi para pengikut madzhab tidaklah dikatakan keluar dari garis pengikut Hanafi disebabkan mengamalkan hadits tersebut.

Qaul 2:Apabila hadits itu shahih, itulah madzhabku.2

Malik bin Anas rahimahullah

Qaul 1:Aku hanyalah manusia biasa yang pendapatku bisa benar dan bisa salah. Karena itu telitilah pendapat yang aku kemukakan. Semua pendapat yang selaras dengan al-Qur'an dan as-Sunnah ambillah, jika tidak selaras tinggalkanlah.3

Qaul 2:Semua perkataan manusia sama, bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.4

Al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah

Qaul 1:Suatu sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mungkin sampai pada seseorang atau tidak. Jadi kalau aku pernah berpendapat atau merumuskan suatu prinsip ternyata ada hadits yang sah dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyatakan sebaliknya, maka pendapat yang betul adalah yang Nabi katakan dan aku pun berpendapat dengannya.5

Qaul 2:Setiap hadits yang sah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjadi pendapatku walaupun sebelumnya kamu tidak pernah mendengarnya dariku.6

Qaul 3:Apabila kamu mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka berpeganglah kepada hadits tersebut dan tinggalkan pendapatku (atau tulisanku).7

Qaul 4:Pertama, suatu berita yang berasal dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diterima. Kedua, berita atau hadits tersebut wajib diterima jika telah terbukti sah, walaupun para imam belum ada yang mengamalkan atau mengajarkannya. Hal ini menunjukkan bahwa pendapat seorang imam harus ditinggalkan jika bertentangan dengan hadits Nabi, diganti dengan petunjuk yang berasal dari hadits Nabi. Disamping itu, hadits yang diyakini sah dari Nabi adalah sebuah kepastian yang tidak perlu dikonfirmasikan dengan pendapat seseorang.8

Ahmad bin Hanbal rahimahullah

Qaul 1:Seluruh perkataan bisa diterima atau ditolak, kecuali perkataan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.”99

Qaul 2:Pendapat al-Auza'i, Malik, dan Abu Hanifah, semuanya hanyalah pendapat. Aku pandang sama di sisiku, yang mesti jadi rujukan (mutlak) hanyalah sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.10

Jangan-jangan Kita yang Lancang

Berkata Syaikh al-Albani rahimahullah tentang perkataan para imam tersebut; “Kenyataan tersebut menggambarkan ketinggian ilmu dan ketakwaan para imam tersebut. Melalui perkataan tersebut, mereka menegaskan bahwa dirinya tidaklah menguasai sunnah secara keseluruhan. Kadangkala didapati (pada imam madzhab) beberapa perkara yang menyelisihi sunnah, karena riwayat tentangnya (tentang perkara tersebut) tidak sampai kepadanya. Apabila mengetahui sunnah tersebut, tentu mereka akan memerintahkan kita agar berpegang teguh dengannya dan menjadikannya sebagai madzhab mereka. Semoga Allah memberi rahmat kepada mereka, semuanya.11

Tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa seseorang harus berpegang dengan qaul salah seorang imam yang empat secara mutlak. Bahkan mencampuradukkan pendapat satu imam dengan imam yang lain tidak boleh. Pendek kata seorang muslim, menurut kelompok ini, harus setia sampai mati dengan qaul seorang imam.

Sikap macam apakah ini? Tak lebih sebagai sikap ta'ashub yang berlebihan. Bahkan kalau ditimbang dengan qaul para imam tersebut diatas merupakan bentuk kelancangan terhadap nasihat imam yang, katanya, mereka hormati dan muliakan tersebut. Sebenarnya bukan hormat dan memuliakan, justru dalam kenyataannya bersikap sok tahu dan menyalahkan petunjuk para imam. Bukankah para imam berpesan agar tidak mendewakan pendapatnya? Mereka selalu memerintahkan agar mengembalikan segala pendapat kepada petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lantas?!

Catatan Kaki:

  1. ^ Riwayat Shalih al-Fulani dalam Iqaz al-Himam, hal. 50.
  2. ^ Riwayat Ibn ‘Abd al-Barr dari al-Imam Abu Hanifah. Shifatu Shalatin-Nabi, hal. viii.
  3. ^ Riwayat Ibn ‘Abd al-Barr dalam Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 32.
  4. ^ Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 91.
  5. ^ Riwayat Ibn ‘Asakir di dalam Tarikh Dimashq, 15/1/3. al-Imam Ibn ‘Asakir lahir pada 499 H/1106 M di Dahalyik. Seorang ahli sejarah dan ahli hadits yang terkemuka di kalangan madzhab asy-Syafi‘i pada abad ke 5 H. Nama aslinya Abu al-Qasim ‘Ali bin al-Hassan, wafat pada 571 H/1176 M.
  6. ^ Riwayat Ibn Abi Hatim di dalam al-Adab, hal. 93-94.
  7. ^ Riwayat al-Khatib al-Baghdadi di dalam al-Ihtijaj bi asy-Syafi‘i, jilid. 8, hal. 2 dan al-Nawawi dalam al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab, jilid. 1, hal. 63. Al-Imam an-Nawawi adalah seorang imam mujtahid yang masyhur bagi madzhab asy-Syafi‘i. Nama aslinya Abu Zakaria Yahya bin Syaraf lahir di Syiria pada 631 H/1233 M. Diantara karangan Beliau ialah kitab fiqh madzhab asy-Syafi‘i berjudul al-Majmu' Syarh al- Muhadzdzab dan Syarh Shahih Muslim. Wafat pada 676 H/1277 M.
  8. ^ Ar-Risalah, al-Imam asy-Syafi'i. 423/3.
  9. ^ Abu Dawud dalam Masa'il al-Imam Ahmad, hal. 276. Al-Imam Abu Dawud ialah Sulaiman bin al-Asy'ath as-Sijistan, lahir pada 202H/818M, sempat berguru kepada Ahmad bin Hanbal bersama al-Bukhari dan Muslim. Kitabnya yang terkenal ialah Sunan Abu Dawud, terdiri dari 4800 buah hadits. Selain itu Beliau juga mengarang belasan kitab lain sebelum meninggal dunia pada 275 H/889 M di Basrah, Irak.
  10. ^ Jami' Bayan al-Ilm, jilid. 2, hal. 149.
  11. ^ Shifatu Shalatin-Nabi, hal. viii.

BIOGRAFI AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-ASQALANI

Ibnu Hajar Al 'Asqalânî ; Panglima Muhadditsîni
(773-852 Hijriyah)


"Tiga perkara dunia yang bila terwujud bagi seseorang niscaya ia tak akan takut bahaya dan kerusakan: independen dan selamat dari [bahaya] pengejar dunia, kesehatan badan, dan akhir yang baik."(Nuzhum Al Iqyân: hlm. 16)


Masa Kecil dan Pendidikan
Ibnu Hajar Al 'Asqalânî bernama lengkap Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar bin Ahmad Al Kinânî Al 'Asqalânî, Al Mishrî, As Syafi'î. Beliau dilahirkan pada tanggal 12 Sya'ban, tahun 773 Hijriyahii di sebuah rumah di tepian sungai Nil, Mesir. Beliau di-kunyah-iiii oleh bapaknya dengan Abu Al Fadhl, dengan harapan agar sang anak meyerupai salah satu dari beberapa hakim agung Mekah yang bergelar sama.iv
Mengenai frase terkenal "Ibnu Hajar", beberapa referensi menyebutkan bahwa itu merupakan laqab (nama panggilan yang biasanya digunakan untuk memuji atau menghina dan bukan merupakan nama asli), sementara sumber yang lain mengatakan itu adalah nama asli. Namun pendapat terkuat, sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, As Sakhâwy dalam buku Ad Dhau Al Lâm'i (2/36), Ibnu Hajar adalah laqab terhadap sebagian moyang beliau.v
Para ahli sejarah sepakat bahwa Ibnu Hajar merupakan keturunan kabilah Kinanah yang merupakan sebagian dari rumpun bangsa Arab. Hal ini diperkuat dari keterangan manuskrip yang berjudull Al Mujma' Al Mu'assas yang ditulis sendiri oleh Ibnu Hajar.vi
Ibnu Hajar sendiri mencatat dalam buku Raf'u Al Ishr (hlm. 37), bahwa ayah kandungnya wafat pada saat beliau berumur empat tahun. Sebelumnya kematian ini telah didahului oleh mangkatnya Ibunda beliau. Jadilah Ibnu Hajar kecil sebagai yatim piatu yang kemudian diasuh dengan baik oleh seorang pengusaha sukses bernama Zakiy Ad Dîn Abi Al Bakr Al Kharrûbî. Pada usia lima tahun, orang tua asuh Ibnu Hajar memasukkannya ke sebuah lembaga pendidikan yang disebut Maktab. Sekitar umur sembilan tahun, Ibnu Hajar telah menghafalkan Al Qur'an melalui bimbingan seorang Syaikh yang bernama Muhammad bin Abdi Ar Razzâq As Safthî.
Pada tahun 784 H, Ibnu Hajar yang berumur sekitar 11 tahun menunaikan ibadah Haji bersama ayah asuhnya. Selama kurang lebih tiga tahun menetap di Mekkah dan di Al Quds, beliau menyibukkan diri untuk mengulang hafalan dan menambah keilmuannya. Hasilnya? Selain hafalan Al Qur'an yang semakin baik, beliau berhasil menghafal buku kumpulan hadist hukum, 'Umdat Al Ahkâm susunan Al Maqdisî, Mukhtashar Ibni Al Hâjib dalam konsentrasi Ushul, Mulhat Al 'I'irâb dalam konsentrasi Nahwu karya Al Harawîvii, Alfiyyah dalam konsentrasi Hadist karya Al 'Irâqî, Alfiyyah dalam konsentrasi Nahwu dan Sharf karya Ibnu Mâlik, dan At Tanbîh dalam konsentrasi fikih Madzhab Syafii, karya As Syîrâzî.viii Diriwayatkan bahwa kekuatan hafalan Ibnu Hajar saat itu melebihi teman-temannya, contohnya, beliau mampu menghafal Surah Maryam hanya dalam waktu sehari saja. Dalam 'Unwân Az Zamân (1/36) diterangkan bahwa cara menghafal Ibnu Hajar yaitu melalui merenung dan berfikir, sebagaimana dilakukan orang-orang cerdas pada umumnya.
Untuk semakin memantapkan Al Qur'an, terutama Tajwidnya, beliau kembali belajar kepada seorang syaikh yang bergelar As Syihâb Al Khuyûthî (w. 807 H.), dan mengikuti kajian buku As Shahîh dari syaikh Abi Al Faraj Abdi Ar Rahmân ibnu Al Mubârak Al Ghazzî (w. 777 H.). Begitu bersemangatnya Ibnu Hajar dalam menuntut ilmu sampai-sampai beliau menyewa dan meminjam sebagian buku yang diperlukannya.
Pada tahun 787 H., setelah meninggal ayah angkatnya, Ibnu Hajar berdagang selama beberapa waktu.ix
Ketika berumur 19 tahunx, Ibnu Hajar mendalami syair dan sastra Arab sehingga ia dianggap urutan kedua dari delapan bintang penyair di jamannya. Namun setahun kemudian, tepatnya pada tahun 793 H.xi, konsentrasi Ibnu Hajar beralih ke studi Hadist baik dengan mendengar, menulis, menganalisis, mengomentari, atau mengkodifikasikannya. Pakar Hadist pertama yang selalu diikuti dan diteladani oleh beliau adalah Abdurrahim bin Al Husain bin Abdurrahman atau yang dikenal dengan gelar Al Hâfizh Zain Ad Dîn Al 'Irâqî (725-806 H.). Selama kurang lebih sepuluh tahun belajar dari guru besar di antaranya pada bidang hadist dan sejarah inilah, Ibnu Hajar mendapat gelar Al Hâfizhxii atau pemuka di bidang Hadist, yang bahkan diakui melebihi kepakaran para guru-gurunya.xiii Mendokumentasikan masa belajar kepada Al Irâqî, Ibnu Hajar berucap, "Rufi'a al hijâb wa futiha al bâbu, wa aqbala al 'azmu al mushammimu 'alâ at tahshîl wa wuffiqa li al hidâyah ilâ sawâi as sabîl." (Hijab telah disingkap dan pintu telah dibuka, tekad yang kokoh untuk mereguh ilmu telah datang, dan penggapaian petunjuk menuju jalan yang lurus telah diberikan).xiv Di samping itu, beliau juga mengaji kepada para musnid yang berada di Kairo ataupun Mesir pada umumnya.
Ibnu Hajar juga mengaji kepada guru besar di bidang Fikih, Ushul, Sastra Arab, dan Tafsir saat itu yaitu Syaikh Al Islâm Sirâjuddîn Al Bulqîni As Syâfi'î (762-824 H.) Di samping itu beliau juga mengaji kepada Ibnu Al Mulaqqan (723-804 H.), seorang guru besar di bidang Hadist dan Fikih yang menulis sekitar 300 buah buku, juga kepada seorang alim besar yang biograpinya kurang terkenal, bernama Burhânuddîn Al Anbâsî.
Di bidang spesialisasi Ushul dan beberapa disiplin ilmu yang lain, Ibnu Hajar lama berguru dan melazimi guru besar, hakim agung Mesir, dan pengajar tetap di Mesjid Ibnu Thulûn, Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Jamâ'ah As Syâfi'î (694-767 H.).

Perjalanan Ilmiah
Khalil Al Meisxv (1984) mencatat bahwa perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan merupakan tradisi turun-temurun para ilmuan muslimin. Sebelum ke luar negeri, para penuntut ilmu biasanya menyelesaikan terlebih dahulu wawasan keilmuan lokalnya dari ilmuan-ilmuan dalam negeri.xvi
Sejarawan mencatat bahwa Ibnu Hajar memulai perjalanan ilmiahnya pada tahun 793 H. atau ketika berumur 20 tahun. Ibnu Hajar sendiri menulis (Inbâ Al Ghumr, 1/419) bahwa ia berangkat menuju Qûsh dan beberapa daerah di perkampungan badui Mesir dan mempelajari dan mengkaji karya-karya ulamanya.
Lima tahun setelah itu, Ibnu Hajar berangkat menuju Iskandariyya atau Alexanderia, Mesir. Di kota pesisir Laut Mediterania ini, Ibnu Hajar bersua dengan beberapa Muhaddist dan Musnid, di antaranya Syams Ad Dîn Al Jazrî (w. 834 H.), Ibnu Al Furâth (w. 803 H.), Ibnu Sulaymân Al Feisy (w. 798 H.) dan Ibnu Al Bûri (w. 799 H.). Keterangan seputar perjalanan ke kota ini terekam dengan baik di dalam karya Ibnu Hajar Al Asqalâni yang berjudul, Ad Durar Al Mudhiyyah fî Fawâid Al Iskandariyyah.
Tak hanya di Mesir, beliau juga menuntut ilmu kepada ulama-ulama besar di Syamxvii, Yaman dan Hijaz. Pada tahun 799 H., Ibnu Hajar berangkat menuju ke Hijaz.xviii Namun belum sampai ke daerah Pegunungan Sinai, beliau bertemu dengan beberapa ulama, di antaranya yang tercatat Ar Ridha Az Zabîdî, As Shalâh Al Aqfahsî (w. 820 H.), An Najm Al Murjânî (w. 827 H.) dan memanfaatkan kesempatan itu untuk belajar.
Pada perjalanan pertamanya ke Yaman, Ibnu Hajar bertemu dengan Ibnu Al Khayyath As Syâfi'î (w. 811 H.) Meski cukup menguasai Fikih, Ibnu Hajar masih mengaji kepada pakar fikih ini. Masih di Yaman, tepatnya di kota Zabid, Ibnu Hajar bertemu dengan beberapa ulama lainnya, seperti Ibnu Abd As Shamad Al Jabartî (w. 806 H.), seorang Mufti yang bernama Ahmad ibnu Abî Bakr An Nâsyirî (w. 815 H.), dan As Syarif ibnu Al Muqrî (w.837 H.). Meski cukup menguasai fikih, bahasa Arab dan sastra, Ibnu Hajar masih mengaji kepadanya. (Al Mu'jam Al Muassas, hlm. 209). Di kota ini juga Ibnu Hajar berguru dengan Al Allâmah Muhammad bin Ya'qûb bin Muhammad atau yang dikenal dengan Majd Ad Dîn As Syîrâzî Al Fairuzâbâdî As Syâfi'î (729-817 H.), pengarang Al-Qâmus Al Muhîth. Ulama ini merupakan pakar di bidang bahasa, sastra Arab, dan hadist dan juga menjabat hakim agung di Zabid, Yaman.
Masih di Yaman, tepatnya di kota Aden, Ibnu Hajar bertemu dengan Ar Ridhâ ibnu Al Musta'dzin (w. 816 H.) dan mengaji syair-syairnya. Sebaliknya, Al Musata'dzin juga mengaji dan belajar banyak kepada Ibnu Hajar. Bahkan, Al Musta'dzin menyalin beberapa karya Ibnu Hajar seperti Ta'lîq At Ta'lîq, Tahdzîb At Tahdzîb, dan Lisân Al Mîzân.
Ibnu Hajar juga pergi ke kawasan Hijaz beberapa kali. Di samping untuk mengerjakan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan kesempatan itu untuk menuntut ilmu. Di antara guru beliau di sana yaitu Zain Ad Din Abd Ar Rahman ibn Muhammad As Saify (w. 825 H.)xix
Pada tahun 802 H., Ibnu Hajar berangkat menuju kawasan Syâm. Beliau bertemu dengan banyak ilmuan dan ulama di sana dan menetap selama 100 hari di Damaskus. Dalam masa itu, beliau menyimak sekitar seribu Al Juz Al Hadîsty.xx Selain ke Damaskus, beliau juga mengunjungi kota Halab (Aleppo), Himsh, dan Hamât.
Setelah melalui perjalanan panjang ini, Ibnu Hajar pulang kembali ke Mesir dan banyak mencurahkan kemampuan dan konsentrasinya dalam kajian Hadist dan menulis banyak buku yang berkualitas tinggi. Beliau mengajar di beberapa tempat, antara lain mengajar hadist di Syaikhûniyyah, di Mesjid Qal'ah, di Jamâliyyah, dan Bibirsiyyah. Beliau juga mengajar Fikih di Muayyadiyyah dan Syaikhûniyyah. Di samping itu, beliau juga diamanahi memimpin lembaga ulama di dua daerah yaitu di Bibirsiyyah dan sebuah tempat di dekat kubur Imam Syafi'î yang bernama As Shalâhiyyah. Pada tahun 829 H., beliau diamanahi untuk mengepalai otoritas kehakiman agung Mesir.
Tak pelak karena kompetensi akhlak, ilmu, dan otoritasnya, beliau diberi berbagai gelar kehormatan, di antaranya Amîr Al Muslimîn fi Al Hadîst (Pemimpin kaum muslimin dalam Disiplin Hadist), Syihâbuddîn (Bintang Islam), Qâdhî Al Qudhât (Jaksa Agung), Syaikh Al Islâm (Pemuka Agama Islam). Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad atau yeng dikenal dengan Jalâl Ad Dîn As Suyûtî (849-911 H.) dalam bukunya Nuzhum, menggelari beliau dengan gelar kehormatan seperti, Farîd 'Ashrihî (Pakar yang langka di jamannya), Hâmil liwâ As Sunnah (Pemegang panji Sunnah Nabi), Dzahabiy Hadza Al 'Ashr (Emas berkilau di jamannya), Muqaddam 'Asâkir Al Muhadditsin (Panglima pasukan Muhadditsîn) dan berbagai gelar luar biasa lainnya.xxi

Guru-guru Ibnu Hajar
Dalam keterangan yang ditulis oleh Ibnu Hajar di buku "Jumân Ad Durar" (hlm 12-24), disebutkan bahwa jumlah guru beliau mencapai sekitar 450 orang, baik dengan ijâzah (lebih mendalam dan rutin hingga mendapatkan lisensi), mengaji (samaa'/mendengarkan), atau ifâdah (mengambil manfaat secara singkat atau di kesempatan yang terbatas).
Menurut pendapat yang lain, jumlah guru beliau mencapai 600 orang, di luar mereka yang merupakan sahabat dan tempat saling bertukar fikiran dengan beliau. Secara lebih lengkap, Ibnu Hajar sendiri secara khusus menulis dua buku (yang sekarang berbentuk manuskrif) yang dedikasikan untuk guru-guru beliau, yaitu "Al Mujma' Al Muassas li Al Mu'jam Al Mufahras" dan "Tajrîd Asânîd Al Kutub Al Masyhûrah wa Al Ajzâ Al Mantsûrah Al Musamma bi Al Mu'jam Al Mufahras".
Berikut adalah sebagian guru besar Ibnu Hajar dalam bidangnya masing-masing.
1.Ibrâhim At Tanûkhi (w. 800 H.) dalam bidang Qirâât;
2.Az Zein Al 'Irâqy (w.806 H.) dalam bidang hadist dan yang berkaitan langsung dengannya;
3.Al Haitsamy (w.807 H.) dalam bidang penghafalan dan penguasaan buku-buku matan/pegangan dasar ilmu;
4.Sirâj Ad Dîn Al Bulqîny (w.805 H.) dalam kedalaman pemahaman dan hafalan serta cermatnya analisis;
5.Ibnu Al Mulaqqan (w. 804 H.) dalam kecermatan dan kecepatan menulis;
6.Al Majd As Syîrâzy (w. 817 H.) dalam bidang hafalan Bahasa dan analisisnya;
7.Al Ghumâry (w. 802 H.) dalam pendalaman dan hafalan Bahasa Arab dan bidang-bidang yang berkaitan langsung dengannya;
8.Al Muhibb Ibnu Hisyâm (799 H.). Ibnu Hajar mengaji kepadanya "Ulûm Al Hadîst" karya Ibnu Shalâh, dan "Hikâyât Abî Aly Al Faqîh".
9.Al 'Izz Ibnu Jamâ'ah (w. 819 H.) dalam penguasaan di berbagai bidang.xxii

Ibnu Hajar dan Keluarga
Pada tahun 798 H., ketika berumur 25 tahun, Ibnu Hajar menikah dengan seorang perempuan yang bernama Anas, puteri seorang hakim dan kepala pasukan bersenjata yang bernama Karim Ad Dîn Abd Al Karîm ibn Ahmad ibn Abdil 'Azîz. Keluarga Karîm dikenal sebagai keluarga terdididk dan terpandang.
Terhadap isterinya, Ibnu Hajar begitu perhatian. Beliau mengajaknya untuk mendengarkan hadist langsung kepada Hâfiz Al 'Ashr, (Hafizh Jaman itu), Az Zain Al 'Irâqî, dan Asy Syarif ibnu Al Kuwaik. Bahkan isteri beliau ini diundang untuk memperoleh berbagai ijazah dari beberapa Huffâzh dan Musnid. Dengan ditemani oleh suami, isteri Ibnu Hajar ini mengajarkan ilmu yang didapatnya. Pada tahun 815 H., beliau mengajaknya mengerjakan ibadah haji. Dari isteri pertama ini, Ibnu Hajar dikaruniai lima orang puteri, yaitu Zein Hâtun, Farha, Ghâliba, Râbia, dan Fâthima.xxiii
Isteri kedua Ibnu Hajar adalah janda yang melahirkan seorang anak perempuan yang lalu meninggal. Setelah itu, isteri kedua ini ditalak oleh beliau. Lalu pada tahun 836, dalam sebuah perjalanan ke kota Âmid,xxiv beliau kembali beristeri dengan perempuan yang namanya Laylâ. Namun, dari Layla, Ibnu Hajar tidak dikaruniai keturunan.
Pada tahun 815 H., keinginan Ibnu Hajar untuk mendapatkan keturunan laki-laki akhirnya ia peroleh dari isterinya yang bernama, Khâsh Turk. Anak laki-laki satu-satunya ini beliau beri nama, Muhammad dan bergelar, Badr Ad Dîn Abu Al Ma'âlî. Tak pelak, Ibnu Hajar begitu memperhatikan pendidikan putera semata wayangnya ini. Beliau mengajaknya untuk mendengarkan kajian Hadist dari Al Wâsithi dan beberapa orang ilmuan lainnya. Bahkan diterangkan di dalam buku Al Jawâhir wa Ad Durar (hlm. 284), bahwa Ibnu Hajar mendedikasikan karya fenomenalnya dalam kumpulan Hadist hukum, Bulûgh Al Marâm min Adillat Al Ahkâm untuk putera beliau itu. Sebaliknya, sang anak banyak meriwayatkan dari ayahnya, dan di kemudian hari berprofesi sebagai ahli hukum.

Kondisi Umum Masyarakat
Ibnu Hajar hidup di seperempat akhir dari abad kedelepan hingga pertengahan abad kesembilan Hijriyah. Bisa dikatakan Ibnu Hajar merasakan fase pemerintahan Ayyubiyah hingga fase transisi dan jatuhnya kekuasaan kepada pemerintahan Mamalik (784-923 H.). Tampaknya, kondisi politik, ekonomi, sosial, keagamaan, dan keilmuan sedikit banyaknya, ikut berpengaruh terhadap kepribadian dan corak pemikiran Ibnu Hajar.
Secara politis, pemerintahan Mamalik, berusaha menjaga keutuhan otoritas kekuasaannya dan melindungi kedudukan agama dan otoritas syariat. Mereka masyhur dengan sikap hormat dan akrab kepada ulama. Mereka membangun mesjid-mesjid, lembaga pendidikan, rumah sakit dan benteng-benteng pertahanan, dan fasilitas-fasilitas masyarakat lainnya.
Saat itu, otoritas Mamalik dikenal dengan kondisi social yang cukup dinamis dan berkembang di seluruh aspek kehidupan. Secara de jure dan simbolik, Akidah Islam, menjadi ideologi masyarakat dan hukum-hukum Allah memiliki kehormatan dan tempat yang kuat.
Namun, secara de facto, pembangunan di masyarakat tidak merata. Masih terlihat penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan, umpamanya dengan diberlakukannya pajak yang semakin menindas golongan ekonomi kelas bawah. Sementara itu, kenyataan jarak antara golongan kelas atas dengan bawah semakin jauh. Padahal ajaran Islam datang untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi hal itu.
Sejarawan Abd As Sattâr As Syaikh (2002) mendedahkan bahwa pada saat itu terdapat empat kelas sosial. Yang pertama atau yang paling diuntungkan adalah kelas para penguasa dan Mamalik. Mereka biasanya hanya disibukkan dengan urusan-urusan pribadi seperti latihan perang, olahraga dan tidak berbaur dengan masyarakat luas. Kelas kedua adalah golongan cendikia termasuk di dalamnya para jaksa dan para pengajar di institusi-institusi pendidikan. Mereka ini mendapat perhatian khusus dari penguasa dan biasanya dijadikan konsultan dalam rapat-rapat kebijakan pemerintahan. Di samping itu, mereka dihormati di tengah masyarakat. Kelas ketiga, yaitu para pengusaha atau praktisi bisnis. Karena kedudukan dan kekayaannya, mereka tidak digerogoti oleh kekuatan feodalisme sehingga tidak dieksploitasi secara langsung. Yang kelas keempat, adalah kelas masyarakat umum baik itu buruh, petani, pengrajin kecil. Kelas terbesar masyarakat ini hampir bisa dikatakan dalam kondisi yang memprihatinkan; hidup segan mati tak mau.
Pada tataran ekonomi, pertumbuhan ekonomi relatif meningkat karena sektor pertanian, perindustrian, dan perdagangan terus digenjot. Sektor perdagangan dipilih sebagai penggerak utama ekonomi. Hal ini dikarenakan secara geopolitik dan geoekonomi, kondisi jalur perdagangan internasional lintas barat dan timur yang tidak aman akibat ekspedisi Mongolia yang cukup ekstensif. Sementara jalur perdagangan satu-satunya yang lebih mudah dan aman adalah jalur Laut Merah dan melewati Mesir. Kondisi ini menjadi keuntungan tersendiri bagi penguasa Mamalik dan dengan baik mereka manfaatkan. Sayangnya, pendapatan dari sektor ini tidak dengan baik dirasakan oleh masyarakat umum, sebab sistem feodalisme masih berlaku.
Di sisi lain, tataran ritual keagamaan mendapat perhatian yang luar biasa. Mesjid-mesjid didirikan; kegiatan-kegiatan bercorak keagamaan diselenggarakan. Tercatat jumlah mesjid yang dibangun ketika fase Mamalik mencapai angka seribu, dan jargon atau misi ideal pendiriannya yaitu: "Himpunan keislaman yang ramai dengan satuan-satuan kajian keilmuan; berhiaskan ulama-ulama besar dan bukan sekadar untuk ritual keagamaan". Penting dicatat bahwa penyebaran ajaran Tasawuf melalui guru-gurunya menjadi fenomena unik fase Mamalik. Tercatat bahwa banyak di antara masyarakat umum yang berafiliasi dan berhubungan dengan guru-guru sufi.
Yang paling menarik adalah tradisi keilmuan yang masih dipertahankan dengan cukup baik pada fase ini. Lebih khusus di Mesir dan Syam. Orang akan dibuat takjub dengan fasilitas referensi yang berlimpah di berbagai bidang keilmuan. Hal ini setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor.
(1)Kondisi geoislami yang lebih memberikan peluang yang besar kepada Mesir sebagai persinggahan ulama dan ilmuan setelah sebelumnya Bagdad diruntuhkan oleh agresi Mongolia; juga Andalusia yang direbut oleh pasukan Salib;
(2)Kondisi psikologis ulama dan ilmuan terhadap besarnya tanggungjawab dan kewajiban untuk mengembalikan kembali pusaka dan perpustakaan keilmuan yang rusak dan hilang akibat serangan Tartar. Kondisi ini melahirkan semangat langka dan luar biasa dalam proyek penulisan dan kodifikasi berbagai disiplin keilmuan sehingga lahir produk-produk intelektual baru yang tak kalah berkualitas dari masa sebelumnya;
(3)Secara struktural, pemerintah mendukung budaya keilmuan dan bahkan ikut serta dalam sebagian kajian ilmiah. Mereka sangat perhatian dengan institusi-institusi keilmuan yang menelurkan para ilmuan baik itu di mesjid atau sekolah resmi. Tak pelak dana pendidikan digulirkan dengan jumlah yang banyak, fasilitas-fasilitas pendukung seperti perpustakaan berkualitas dibangun, para pelajar mendapatkan dana bantuan pendidikan. Sikap penguasa ini menjadi contoh dan motivasi bagi sebagian rakyat untuk ikut memajukan pendidikan. Demikianlah, ilmuan dan buku-buku berkualitas lahir dari fase ini.
Di sisi lain, para agamawan/ulama pada umumnya masih berpegang teguh dengan prinsip keilmuan dan pengamalannya. Dengan kata lain, hanya sedikit dari mereka yang tidak mengamalkan keilmuannya, dan jumlah mereka tidak kemudian mengotori jaman keemasan keilmuan saat itu.xxv

Senarai Akhlak dan Corak Pemikiran
Ibnu Hajar juga dikaruniai akhlak yang tinggi, ilmu yang luas dan langka, juga perawakan yang baik dan berwibawa. Beliau dikenal makan dan minum tidak berlebihan; sekadar untuk keperluan. Orangnya lebih banyak diam namun saat diperlukan, berbicara dengan baik dan tidak dipaksakan. Mandiri untuk keperluan-keperluan yang bisa beliau kerjakan sendiri. Cerdas namun dapat mengendalikan diri. Kritis namun tawadhu' dan tidak menjatuhkan lawan bicaranya. Bahkan terhadap orang yang berbuat jahat kepadanya, beliau selalu berusaha membalas dengan kebaikan dan memaafkannya. Wara' (selektif terhadap hal-hal yang beresiko kepada dosa). Pemurah namun adil dan bertawakkal. Empati terhadap musibah yang menimpa orang lain. Menunaikan hak tetangga dan fakir miskin. Pengasih terhadap yang kecil dan penuntut ilmu, namun juga menghormati yang tua.
Di samping itu, Ibnu Hajar konsisten dalam beribadah. Beliau hampir tak pernah meninggalkan salat berjamaah dan salat malam hingga saat dalam perjalanan. Beliau juga membanyakkan pergi haji namun tak kehilangan kepedulian sosialnya. Banyak mengingat Allah, beristighfar, bertasbih namun tidak lantas tak membaca Alqur'an.
Jujur tapi tegas. Sabar namun syukur. Singkat kata, Ibnu Hajar berusaha maksimal mengamalkan akhlak dan keilmuannya di setiap desah nafas. Beliau amat mencintai Alqur'an dan Sunnah.xxvi
Adapun corak pemikirannya, dikatakan oleh sebagian peneliti dan pakar sejarah bahwa Ibnu Hajar adalah ulama "lintas disiplin". Artinya, beliau tidak hanya menguasai Hadist baik secara riwayat atau dirayat,xxvii namun beliau menjadi rujukan dalam disiplin-disiplin keilmuan yang lain, seperti Tafsir, Bahasa-Sastra, Sejarah, dan Fikih. Hal ini diperkuat dengan keterangan yang ditulis oleh murid beliau, Al Biqâ'î dan Ibnu Fahd. Pasalnya, sebagaimana yang ditulis oleh As Sakhâwy (Al Jawâhir wa Ad Durar, hlm. 32-35), Ibnu Hajar diberi beberapa kelebihan yang sangat membantu aktivitas keilmuan beliau, sebagai berikut: (1) kecerdasan yang menyala-nyala dan keilmuan yang selektif dan mendalam; (2) membaca cepat dan berkualitas; (3) menulis cepat; dan (4) bantuan sahabat-sahabat beliau. Di samping beliau selelu menggunakan detik demi detik waktunya untuk kegiatan bermanfaat dan ilmiah, seperti membaca, mendengar, dan menulis ilmu pengetahuan.
Dari segi sastra dan bahasa dan ilmu timbangan syair Arab, beliau diakui kepakarannya. Bahkan dalam beberapa kesempatan di bukunya,xxviii beliau mengkritik beberapa ulama lain. Tak heran, para pakar bahasa sendiri berkonsultasi langsung kepada beliau dalam berbagai hal di bidang ini.
Dari segi landasan ideologi, Ibnu Hajar mengikuti dan menegaskan untuk mengikuti generasi salaf saleh dan menjauhi hal-hal yang tidak ada landasan dalam Islam dan bertentangan dengannya. Karena itu, beliau mencela Ilmu Kalam, mendukung sikap penyerahan makna sifat-sifat Allah yang seakan menyerupai makhluk kepada kehendak Allah sebenarnya. Bagi kita, cukup untuk mengimani segala sesuatu yang diwajibkan Allah atau lewat Rasul-Nya; menetapkan dan menghilangkan praduga keserupaan-Nya dengan makhluk.xxix
Gelar As Syâfii yang diembannya mengindikasikan bahwa dalam memformulasi (istinbâth) hukum, Ibnu Hajar mengikuti jejak dan metodologi Imam Muhammad ibnu Idrîs As Syafi'i, terutama dalam hal fondasi-fondasi pemahaman (Ushûl Fikih) dan Ushûl Al Hadîts sebagaimana yang tertera dalam banyak buku-buku primer karya Imam Syafii seperti Ar Risâlah, Ahkâm Al Qur'ân, Ikhtilâf Al Hadîst, Jimâ' Al 'Ilmi, Ibthâl Al Istihsân, dan Kitâb Al Qiyâs. Dalam konteks ini, Dr. Ali Jum'ah (2004) mengutip bahwa fundamen-fundamen madzhab Imam Syafii yaitu: (1) mengikuti Alqur'an dan Sunnah; (2) mengikuti kebenaran dan argumentasi/dalil selama dalil itu valid; (3) perhatian yang besar terhadap perkataan Sahabat Nabi; (4) menggunakan perangkat Qiyas secara proporsional. Artinya, tidak seketat Imam Malik dan tidak sebebas Imam Abu Hanifah; (5) I'tibâr Al Ashl fî Al Asyyâ atau realibilitas dan penggunaan asal/landasan murni dalam suatu persoalan; (6) Al Istishhâb dengan maksud ditetapkannya suatu hukum pada kondisi kedua dengan berdasarkan pada hukum pada kondisi pertama. Dengan catatan, bahwa dalil pembatal dan bertentangan tidak ditemukan; (7) Istiqrâ atau penalaran induktif yaitu penalaran dari kasus-kasus partikular untuk menarik kesimpulan umum.xxx
Sebagai ilmuan yang sejarawan, faqih dan ahli bahasa, Ibnu Hajar istimewa dengan kritititisme obyektif yang ia dapatkan dari disiplin Hadist yang beliau kuasai baik itu dari segi runtutan sejarah, biografi, status hadist, alur kesalahan para penulis atau kesalahan penyandaran pendapat dan sumber. Di samping itu, beliau jujur, namun tidak kehilangan estetika dan etika dalam mengkritik.xxxi

Wafat
Tanggal 25 Jumadil Akhir 852 H. Ibnu Hajar mengundurkan diri dari jabatan Jaksa Agung setelah bergelut kurang lebih selama 21 tahun-dengan segala rintangan dan dinamikanya. Selanjutnya beliau lebih banyak berdiam diri di rumah untuk mengajar dan menulis. Namun, enam bulan kemudian beliau terserang penyakit. Tercatat bahwa sebabnya adalah undangan makan di rumah salah seorang kerabat beliau. Di fase pertama sakitnya, beliau mampu menyembunyikan kondisi tersebut dengan tetap mengajar dan beraktivitas. Namun ketika sakitnya telah cukup parah, Ibnu Hajar tak mungkin lagi menyembunyikan kondisi sebenarnya kepada keluarga dan orang-orang dekatnya. Ibnu Fahd mengatakan bahwa Ibnu Hajar terserang muntaber akut sehingga akhirnya tidak mampu mengikuti salat berjamaah dan mengajar.
Melihat itu, para dokter menganjurkan Ibnu Hajar untuk meminum susu perah, sebagai alternatif obat pengganti, mengingat usia beliau yang tak muda lagi. Setelah mengikuti saran mereka, Ibnu Hajar berangsur sehat. Namun sebenarnya, beberapa waktu setelah itu beliau kembali menyimpan rasa sakit di perutnya. Sakit itu semakin parah karena di hari berikutnya, beliau tidak ikut salat Idha. Padahal sebelumnya beliau selalu mengikutinya, sebagaimana beliau selalu mengikuti salat Jumat dan salat berjamaah. Namun anehnya tiga hari selanjutnya, mendadak beliau kembali bisa beraktivitas untuk salat Jum'at dan berkunjung kepada salah satu isterinya. Kepada isteri tersebut, beliau memohon maaf dan keridaan atas segala kesalahan.
Setelah itu hari-hari berikutnya, Ibnu Hajar kembali sakit bahkan lebih parah sehingga beliau tak mampu salat malam dan berwudhu sendiri. Tak pelak dokter berdatangan. Sementara, banyak para ulama, ilmuan, masyarakat dan pemimpin yang datang mengunjungi hingga tibalah hari perpisahan yang telah ditetapkan.
Malam Sabtu, 18 Dzul Hijjah 852 H., di tengah keliling anak, cucu dan kerabat yang membacakan surah Yâsin hingga ayat "Salâmun qaulan min Rabbin Rahîm", dalam usia sekitar 79 tahun, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Hari wafat Ibnu Hajar dipenuhi oleh ratusan ribu atau mungkin bahkan jutaan masyarakat yang melayat, sedih dan merasa kehilangan, Mereka tidak hanya dari kaum muslim namun juga dari kalangan non-muslim. As Sakhâwi mengatakan bahwa tak terhitung jumlah pelayat yang hadir saat itu. Bahkan diceritakan bahwa setelah kabar kewafataan beliau tersebar, diadakanlah Salat Ghaib di Mesjid Haram, Mesjid Nawabi, Mesjid Al Aqsha, hingga mesjid-mesjid lain di penjuru dunia.


Hasil Karya
Menukil dari ulama dan peneliti terkenal kelahiran Irak, Syakir Mahmud 'Abd Al Mun'im, Khalil Al Meis (1984) memperkirakan bahwa jumlah karya Ibnu Hajar mencapai lebih dari 150 buah. Dari segi obyeknya, gugusan karya ini berbicara dan menjawab pembahasan di berbagai hal. Dari sisi penyalinan, sebagian ada yang telah disalin dan sebagian yang lain belum; ada juga yang baru saja disalin, sebagaimana juga ada karya beliau yang belum selesai ditulis. Dari segi bentuk dan volume karya, ada sebagian yang berjilid-jilid, ada pula yang berbentuk buku-buku tipis; sebagian yang lain berupa dokumentasi jawaban pertanyaan, hal-hal langka, luar biasa, atau komentar yang secara riil merupakan produk atau output pola fikir kritis dan analitik yang beliau susun ketika menelaah karya para ulama yang terdahulu. Sementara dari sisi inovasinya, sebagian karya beliau ada yang benar-benar karya baru, sebagian yang lain berupa ringkasan, narasi, interpretasi, komentar, antologi, dan sebagian lagi editan dan suntingan.
Karya-karya Ibnu Hajar tersebar luas di dunia dan diburu semasa beliau hidup untuk dibaca. Sebagian yang lain, seperti kumpulan hadist hukum Bulûg Al Marâm dan metodologi dasar pengkaji Hadist Nukhbat Al Fikr dan keterangannya yang berjudul Nuzhat An Nazhr, dihafal. Bahkan, sebagian karyanya seperti Syarah Al Bukhâry dijadikan cinderamata di antara para raja dan penguasa seperti yang terjadi di antara Syah Rokh (w. 830 H.) dan Sultan Al Asyraf. xxxii
Berikut adalah sebagian karya fonemenal yang beliau rampungkan sesuai dengan obyek dan konsentrasinya.
(1) Ulûm Al Qurân (Ilmu-ilmu Al Qur'an)
Asbâb An Nuzûl;
Al Itqân fî Jam'i Ahâdîst Fadhâil Al Qurân;
Al Ihkâm lima fi Al Qur'ân min Al Ibhâm;
Mâ Waqa'a fî Al Qurân min Ghair Lughat Al 'Arab

(2) Ushûl Al Hadîts (Ilmu-ilmu Dasar Kajian Hadist)
Nukhbat Al Fikr fî Musthalah Ahl Al Atsar;
Nuzhat An Nazr fî Tawdhîh Nukhbat Al Fikr;

(3) Syarah Al Hadîst (Keterangan Hadist)
An Nukat 'alâ Tanqîh Az Zarkasy 'alâ Al Bukhâry;
Fath Al Bâry bi Syarh Shahîh Al Bukâry yang nampaknya merupakan karya paling terkenal. Buku ini memiliki mukaddimah/pengantar yang diberi nama "Hady As Sâry";

(4) Thuruq Al Hadîst (Ilmu Jalur-jalur Hadist)
Thuruq Hadîts Shalât At Tasbîh
Taghlîq At Ta'lîq;
Thuruq Hadîst Ta'allamû Al Farâidh;
Thuruq Hadîts Al Jâmi' fi Ramadhân;
Thuruq Hadîst Al Qudhât Tsalâtsah;
Thuruq Hadîst Man Banâ Masjidan;
Al Inârah bi Thuruq Hadîts Ghibb Az Ziyârah,
Al Waqf 'alâ Mâ fî Shahîh Muslim min Al Mawqûf;
Thuruq Hadîts Law Anna Nahran bi Bâbi Ahadikum;
Al Qaul Al Musaddad fî Ad Dzabb 'an Musnad Ahmad;
Thuruq Hadîts Man Shallâ 'alâ Janâzah fa lahû Qhîrâth;
Thuruq Hadîst Jâbir fi Al Ba'îr, Thuruq Hadîts Nadhara Allâhu Imra'an;
Thuruq Hadîst Al Gusl Yaum Al Jumu'ah min Riwâyat Nâfi' 'an Ibni Umar Khâshah;
Intiqâdh Al I'itirâdh, dimana beliau menjawab kritik Al 'Ayny yang termaktub pada buku "Umdat Al Qâry".

(5) Takhrîj Al Hadîst (Ilmu Penilaian Hadist)
Al Istidrâk 'alâ Syaikhi Al 'Irâqy fî Takhrîj Al Ihyâ;
Takhrîj Ahâdîst Muntahâ As Sûl;
Takhrîj Ahâdîst Adzkâr An Nawawy;
At Tamyîz fî Takhrîj Ahâdîst Al Wajîz;
Al Kâf As Syyâf fî Takhrîj Ahâdîts Al Kasyyâf,
Ad Dirâyah fî Takhrîj Ahâdîst Al Hidâyah, sebagai ringkasan "Nashb Ar Râyah";

(6) Kutub Al Athrâf (Buku-buku yang memuat penyebutan sebagian redaksi Hadist yang dapat menunjukkan sisanya, disertai penyusunan detil jalur transmisinya atau hanya menyebutkan sumber referensinya)
Ithâf Al Maharah bi Athrâf Al 'Asyarah;
An Nukat Az Zhirâf 'alâ Al Athrâf;
Athrâf As Shahîhain 'alâ Al Abwâb ma'a Al Masânîd;
Tasydîd Al Qaus fî Athrâf Musnad Al Firdaus

(7) Kutub Az Zawâid (Referensi yang memuat sejumlah hadist tambahan dari sebuah buku kumpulan hadist tertentu)
Al Mathâlib Al 'Âliyah bi Zawâid Al Masânid As Tsamâniyah;
Zawâid Al Adab Al Mufrad li Al Bukhârî 'alâ As Sittah;
Zawâid Musnad Al Harts 'alâ As Sittah

(8) Ilm Al Fiqh (Ilmu yang mengkaji hukum-hukum praktis berdasarkan formulasi yang beracuan kepada sumber dan asas hukum yang mendalam)
Manâsik Al Hajj;
Bulûg Al Marâm min Adillat Al Ahkâm;
Syarh Manâsik Al Minhâj An Nawawî

(9) Ensiklopedia dan biografi guru-guru beliau
Tajrîd Asânîd Al Kutub Al Masyhûrah wa Al Ajzâ Al Mantsûrah al Musamma bi Al Mu'jam Al Mufahras;
Al Mu'jam Al Muassas li Al Mu'jam Al Mufahras.

(10) Kutub Ar-Rijâl yang diantaranya Al Jarh wa At Ta'dîl (Referensi yang memuat spesifikasi kondisi dan status para perawi Hadist atau Atsar)
Thabaqât Al Huffâdz;
Lisân Al Mîzân;
Tahdzib At Tahdzîb;
Taqrîb At Tahdzîb;
Al Îstâr bi Ma'rifat Ruwât Al Âtsâr;
Nuzhat Al Albâb fi Al Alqâb;
Al Ishâbah fî Tamyîz As Shahâbah;
Ta'jîl Al Manfa'ah bi Rijâl Al Aimmah Al Arba'ah;
Al Ihtifâl fî Bayâni Ahwâl Ar-Rijâl Al Madzkûrîn fî Shahîh Al Bukhârî Ziyâdatan alâ Mâ fî Tahdzîb Al Kamâl

(11) Al Manâqib (Referensi yang memuat karakter terpuji seseorang)
Al Înâs bi Manâqib Al 'Abbâs;
Tarjamah Ibni Taymiyyah;
Tawâli At Ta'sîs bi Ma'âly ibni Idrîs;
Az Zahr An Nadhir fî Hâl Al Khidhir;

(12) Sîrah dan Sejarah
Al Anwar 'an Khashâis Al Mukhtâr;
Al Âyât An Nayyirât bi Khawâriq Al Mu'jizât;
Ad Durar Al Kâminah fî A'ayân Al Miah As Tsâminah;
Inbâ Al Ghumr bi Anbâ Al 'Umr;
Raf'u Al Isrh 'an Qudhât Al Mishr;

(13) Ilmu Al 'Ilal (Ilmu yang membahas kecacatan dalam transmisi ataupun matan suatu Hadist)
Syifâ Al Ghilal fî Bayân Al 'Ilal;
Az Zahr Al Mathlûl fî Al Khabar Al Ma'lûl

(14) Fadhâil Al A'amâl dan Akhlâk (Amalan yang terpuji dan Etika)
Kasyf Al Sitr bi Rak'atayi Al Witr;
Al Majmû' Al 'Âmm fî Âdâb As Syarâb wa At Tha'âm wa Dukhûl Al Hammâm;
Tabyîn Al 'Ajab fî Mâ Warada fî Shaum Rajab;
Al Khishâl Al Mukaffirah li Adz Dzunûb Al Muqaddimah wa Al Muakhhirah

Ada pula sebagian tulisan/karya Ibnu Hajar yang tidak rampung seperti Syarah At Tirmidzi, Athrâf Al Musnad Al Mu'talî bi Athrâf Al Musnad Al Hanbalî, dan beberapa tulisan lainnya.
Di samping itu, Ibnu Hajar banyak meninggalkan murid dan kader ulama, di antaranya:
(1)Muhammad bin Abd Ar Rahmân bin Muhammad atau yang masyhur dengan gelar Al Hâfizh As Sakhâwy As Syâfi'î (831-902 H.) Salah satu ulama besar kelahiran Mesir dan wafat di Madinah. Sebagian karyanya yaitu Fath Al Mughîts fi Syarh Alfiyyat Al Hadîst, Syarh At Taqrîb li An Nawawy, Syarh Asyamâil Al Muhammadiyyah, dll.
(2)Ibrâhim bin Umar bin Hasan atau yang dikenal dengan gelar Burhan Ad Dîn Al Biqâiy As Syâfi'î (809-885 H.), pengarang buku-buku fenomenal seperti "Nuzhum Ad Durar fî Tanâsub Al Âyi wa As Suwar, Al Bâhah fî Ilmay Al Hisâb wa Al Masâhah, Jawâhir Al Bihâr fî Nuzhum Sîrat Al Mukhtâr, dll.
(3)Zakariya bin Muhammad bin Ahmad atau yang dikenal dengan Zakariya Al Anshâry (829-926 H.). pengarang Fath Ar rahmân bi Kasyf Mâ Yaltabisu min Al Qur'ân, Syarh Syudzûr Ad Dzahab, Asnâ Al Mathâlib Syarh Raudh At Thâlib, dll.
(4)Ibnu Al Khaidhiry As Syâfi'î (821-894 H.) atau yang bernama Muhammad bin Muhammad bin Abd Allâh. Lahir di Damaskus dan wafat di Kairo. Di antara karyanya, Shu'ûd Al Marâqy fi Syarh Alfiyyah Al 'Irâqy, Syarh At Tanbîh li As Syîrâzy, Al Luma' Al Alma'iyyah li A'ayân As Syâfi'iyyah, dll.
(5)Al Kamâl ibnu Al Humâm Al Hanafy (790-861 H.) dll. Atau yang bernama Muhammad bin Abd Al Wâhid bin Abd Al Hamîd. Ilmuan lintas disiplin; fikih, ushul; tafsir; biologi, tasawuf, dll. Di antara karyanya, At Tahrîr fî Ushûl Al Fiqh, Fath Al Qadîr, Zâd Al Faqîr, dll.
(6)Ibnu Fahd Al Makki, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad (787-871 H.), pengarang Nihayat At Taqrîb wa Takmîl At Tahdzîb bi At Tahdzîb, Dzail Thabaqât Al Huffâdzh, dll.

Penutup
Bagaimanapun, Ibnu Hajar merupakah tokoh besar dalam perjalanan keilmuan umat Islam juga dunia secara umum. Tulisan singkat ini tidak akan mampu menyoroti seluruh sisi kehidupan dan kebesaran beliau. Meski jasad beliau telah wafat, namun sejarah menulis nama dan kontribusi keilmuan dan kemanusian beliau dengan tinta emas. Sebagaimana perkataan Abd As Sattar As Syaikh, Ibnu Hajar hidup tidak hanya untuk diri pribadi, namun beliau mendedikasikan seluruh hidupnya untuk ilmu dan pengabdian terhadap ummat dan agama. Jazâhû Allahu 'khair al jazâ wa rahimahû rahmatan wâsi'ah. Suatu ketika, Ibnu Hajar berkata,

وقائلٍ هل عَملٌ صالحٌ ... أعْدَدْتَه ينفعُ عند الكُرَبْ
فقلتُ حسِبي خِدْمَةُ المصطفَى ... وحُبه فالمرءُ مَعَ مَن أحَبّ
"Seorang bertanya kepadaku, adakah amal saleh menyelamatkan yang engkau siapkan demi hari kesulitan? Kujawab, bagiku cukup pengabdian dan kecintaan kepada Al Musthafa. Karena seseorang bersama orang yang dicintainya.." (As Syihâb Al Khaffâjy, Raihanat Al Alubbâ wa Zahrat Al Hayât Ad Dunyâ, vol. 1, hlm. 42, Maktabah Al Warrâq, tt).

End notes:

Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah1

Imam Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit al-Kufiy merupakan orang yang faqih di negeri Irak, salah satu imam dari kaum muslimin, pemimpin orang-orang alim, salah seorang yang mulia dari kalangan ulama dan salah satu imam dari empat imam yang memiliki madzhab.2

Nasab dan Kelahirannya

Beliau adalah Abu Hanifah an-Nu'man bin Tsabit bin Zuthi (ada yang mengatakan Zutha) at-Taimi al-Kufi maula bani Taimillah bin Tsa'labah. Beliau berasal dari keturunan bangsa Persi.3

Beliau dilahirkan pada tahun 80 H pada masa shigharus-shahabah dan para ulama berselisih pendapat tentang tempat kelahiran Abu Hanifah, menurut penuturan anaknya, Hamad bin Abu Hanifah, bahwa Zuthi berasal dari kota Kabul dan dia terlahir dalam keadaan Islam. Adapula yang mengatakan dari Anbar, yang lainnya mengatakan dari Turmudz dan yang lainnya lagi mengatakan dari Babilonia.4

Perkembangannya

Ismail bin Hamad bin Abu Hanifah, cucunya, menuturkan bahwa dahulu Tsabit, ayah Abu Hanifah, pergi mengunjungi 'Ali bin Abi Thalib, lantas 'Ali mendoakan keberkahan kepadanya, pada dirinya dan keluarganya, sedangkan dia pada waktu itu masih kecil, dan kami berharap Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabulkan doa 'Ali tersebut untuk kami.5 Dan Abu Hanifah at-Taimi biasa ikut rombongan pedagang minyak dan kain sutera, bahkan dia punya toko untuk berdagang kain yang berada di rumah Amr bin Harits.6

Abu Hanifah itu tinggi badannya sedang, memiliki postur tubuh yang bagus, jelas dalam berbicara, suaranya bagus dan enak didengar, bagus wajahnya, bagus pakaiannya dan selalu memakai minyak wangi, bagus dalam bermajelis, sangat kasih sayang, bagus dalam pergaulan bersama rekan-rekannya, disegani dan tidak membicarakan hal-hal yang tidak berguna.7

Beliau disibukkan dengan mencari atsar/hadits dan juga melakukan rihlah untuk mencari hal itu. Dan beliau ahli dalam bidang fiqih, mempunyai kecermatan dalam berpendapat, dan dalam permasalahan-permasalahan yang samar/sulit maka kepada beliau akhir penyelesaiannya.8

Beliau sempat bertemu dengan Anas bin Malik tatkala datang ke Kufah dan belajar kepadanya, beliau juga belajar dan meriwayat dari ulama lain seperti Atha' bin Abi Rabbah yang merupakan syaikh besarnya, asy-Sya'bi, Adi bin Tsabit, 'Abdurrahman bin Hurmuj al-A'raj, Amru bin Dinar, Thalhah bin Nafi', Nafi' maula Ibnu 'Umar, Qotadah bin Di'amah, Qois bin Muslim, 'Abdullah bin Dinar, Hamad bin Abi Sulaiman guru fiqihnya, Abu Ja'far al-Baqir, Ibnu Syihab az-Zuhri, Muhammad bin Munkandar, dan masih banyak lagi. Dan ada yang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan 7 sahabat.9

Beliau pernah bercerita, tatkala pergi ke kota Bashrah, saya optimis kalau ada orang yang bertanya kepadaku tentang sesuatu apapun saya akan menjawabnya, maka tatkala diantara mereka ada yang bertanya kepadaku tentang suatu masalah lantas saya tidak mempunyai jawabannya, maka aku memutuskan untuk tidak berpisah dengan Hamad sampai dia meninggal, maka saya bersamanya selama 10 tahun.10

Pada masa pemerintahan Marwan salah seorang raja dari Bani Umayyah di Kufah, beliau didatangi Hubairah salah satu anak buah raja Marwan meminta Abu Hanifah agar menjadi Qadhi (hakim) di Kufah akan tetapi beliau menolak permintaan tersebut, maka beliau dihukum cambuk sebanyak 110 kali (setiap harinya dicambuk 10 kali), tatkala dia mengetahui keteguhan Abu Hanifah maka dia melepaskannya.11

Adapun orang-orang yang belajar kepadanya dan meriwayatkan darinya diantaranya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Abul-Hajaj di dalam Tahdzib-nya berdasarkan abjad diantaranya Ibrahin bin Thahman seorang alim dari Khurasan, Abyadh bin al-Aghar bin ash-Shabah, Ishaq al-Azraq, Asar bin Amru al-Bajali, Ismail bin Yahya al-Sirafi, al-Harits bin Nahban, al-Hasan bin Ziyad, Hafsh bin 'Abdurrahman al-Qadhi, Hamad bin Abu Hanifah, Hamzah temannya penjual minyak wangi, Dawud ath-Thai, Sulaiman bin Amr an-Nakhai, Su'aib bin Ishaq, 'Abdullah ibnul-Mubarak, 'Abdul-'Aziz bin Khalid at-Turmudzi, 'Abdul-Karim bin Muhammad al-Jurjani, 'Abdullah bin Zubair al-Qurasy, Ali bin Zhibyan al-Qadhi, 'Ali bin Ashim, Isa bin Yunus, Abu Nu'aim, al-Fadhl bin Musa, Muhammad bin Bisyr, Muhammad bin Hasan Assaibani, Muhammad bin 'Abdullah al-Anshari, Muhammad bin Qashim al-Asadi, Nu'man bin Abdus-Salam al-Asbahani, Waki' bin al-Jarah, Yahya bin Ayub al-Mishri, Yazid bin Harun, Abu Syihab al-Hanath Assamaqandi, al-Qadhi Abu Yusuf, dan lain-lain.12

Penilaian Para Ulama terhadap Abu Hanifah

Berikut ini beberapa penilaian para ulama tentang Abu Hanifah, diantaranya:

  1. Yahya bin Ma'in berkata; “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqah, dia tidak membicarakan hadits kecuali yang dia hafal dan tidak membicarakan apa-apa yang tidak hafal.13 Dan dalam waktu yang lain beliau berkata; “Abu Hanifah adalah orang yang tsiqah di dalam hadits.14 Dan dia juga berkata; “Abu Hanifah laa ba'sa bih, dia tidak berdusta, orang yang jujur, tidak tertuduh dengan berdusta…15

  2. 'Abdullah ibnul-Mubarak berkata; “Kalaulah Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menolong saya melalui Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri maka saya hanya akan seperti orang biasa.16 Dan beliau juga berkata; “Abu Hanifah adalah orang yang paling faqih.17 Dan beliau juga pernah berkata; “Aku berkata kepada Sufyan ats-Tsauri; 'Wahai Abu Abdillah, orang yang paling jauh dari perbuatan ghibah adalah Abu Hanifah, saya tidak pernah mendengar beliau berbuat ghibah meskipun kepada musuhnya,' kemudian beliau menimpali; 'Demi Allah, dia adalah orang yang paling berakal, dia tidak menghilangkan kebaikannya dengan perbuatan ghibah.'18 Beliau juga berkata; “Aku datang ke kota Kufah, aku bertanya siapakah orang yang paling wara' di kota Kufah? Maka mereka penduduk Kufah menjawab Abu Hanifah.19 Beliau juga berkata; “Apabila atsar telah diketahui, dan masih membutuhkan pendapat, kemudian Imam Malik berpendapat, Sufyan berpendapat dan Abu Hanifah berpendapat maka yang paling bagus pendapatnya adalah Abu Hanifah … dan dia orang yang paling faqih dari ketiganya.20

  3. Al-Qadhi Abu Yusuf berkata; “Abu Hanifah berkata; 'Tidak selayaknya bagi seseorang berbicara tentang hadits kecuali apa-apa yang dia hafal sebagaimana dia mendengarnya.'21 Beliau juga berkata; “Saya tidak melihat seseorang yang lebih tahu tentang tafsir hadits dan tempat-tempat pengambilan fiqih hadits dari Abu Hanifah.22

  4. Imam Syafii berkata; “Barangsiapa ingin mutabahir (memiliki ilmu seluas lautan) dalam masalah fiqih hendaklah dia belajar kepada Abu Hanifah.23

  5. Fudhail bin Iyadh berkata; “Abu Hanifah adalah seorang yang faqih, terkenal dengan wara'-nya, termasuk salah seorang hartawan, sabar dalam belajar dan mengajarkan ilmu, sedikit bicara, menunjukkan kebenaran dengan cara yang baik, menghindari dari harta penguasa.24 Qais bin Rabi' juga mengatakan hal serupa dengan perkataan Fudhail bin Iyadh.25

  6. Yahya bin Sa'id al-Qathan berkata; “Kami tidak mendustakan Allah Subhanahu wa Ta'ala, tidaklah kami mendengar pendapat yang lebih baik dari pendapat Abu Hanifah, dan sungguh banyak mengambil pendapatnya.26

  7. Hafsh bin Ghiyats berkata; “Pendapat Abu Hanifah di dalam masalah fiqih lebih mendalam daripada syair, dan tidaklah mencelanya melainkan dia itu orang yang jahil tentangnya.27

  8. Al-Khuroibi berkata; “Tidaklah orang itu mencela Abu Hanifah melainkan dia itu orang yang pendengki atau orang yang jahil.28

  9. Sufyan bin Uyainah berkata; “Semoga Allah merahmati Abu Hanifah karena dia adalah termasuk orang yang menjaga shalatnya (banyak melakukan shalat).29

Beberapa Penilaian Negatif yang Ditujukan kepada Abu Hanifah

Abu Hanifah selain dia mendapatkan penilaian yang baik dan pujian dari beberapa ulama, juga mendapatkan penilaian negatif dan celaan yang ditujukan kepada beliau, diantaranya:

  1. Imam Muslim bin Hajaj berkata; “Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit shahibur-ra'yi mudhtharib dalam hadits, tidak banyak hadits shahihnya.30

  2. 'Abdul-Karim bin Muhammad bin Syu'aib an-Nasai berkata; “Abu Hanifah Nu'man bin Tsabit tidak kuat hafalan haditsnya.31

  3. 'Abdullah ibnul-Mubarak berkata; “Abu Hanifah orang yang miskin di dalam hadits.32

  4. Sebagian ahlul-ilmi memberikan tuduhan bahwa Abu Hanifah adalah murji'ah dalam memahami masalah iman. Yaitu penyataan bahwa iman itu keyakinan yang ada dalam hati dan diucapkan dengan lisan, dan mengeluarkan amal dari hakikat iman.

    Dan telah dinukil dari Abu Hanifah bahwasanya amal-amal itu tidak termasuk dari hakekat iman, akan tetapi dia termasuk dari sya'air iman, dan yang berpendapat seperti ini adalah Jumhur Asy'ariyyah, Abu Manshur al-Maturidi … dan menyelisihi pendapat ini adalah Ahlu Hadits … dan telah dinukil pula dari Abu Hanifah bahwa iman itu adalah pembenaran di dalam hati dan penetapan dengan lisan, tidak bertambah dan tidak berkurang. Dan yang dimaksudkan dengan “tidak bertambah dan berkurang” adalah jumlah dan ukurannya itu tidak bertingkat-tingkat, dak hal ini tidak menafikan adanya iman itu bertingkat-tingkat dari segi kaifiyyah, seperti ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang jelas dan yang samar, dan yang semisalnya…33

    Dan dinukil pula oleh para sahabatnya, mereka menyebutkan bahwa Abu Hanifah berkata; “Orang yang terjerumus dalam dosa besar maka urusannya diserahkan kepada Allah,” sebagaimana yang termaktub dalam kitab “Fiqhul-Akbar” karya Abu Hanifah; “Kami tidak mengatakan bahwa orang yang beriman itu tidak membahayakan dosa-dosanya terhadap keimanannya, dan kami juga tidak mengatakan pelaku dosa besar itu masuk neraka dan kekal di neraka meskipun dia itu orang yang fasiq, … akan tetapi kami mengatakan bahwa barangsiapa beramal kebaikan dengan memenuhi syarat-syaratnya dan tidak melakukan hal-hal yang merusaknya, tidak membatalkannya dengan kekufuran dan murtad sampai dia meninggal maka Allah tidak akan menyia-nyiakan amalannya, bahkan -insya Allah- akan menerimanya; dan orang yang berbuat kemaksiatan selain syirik dan kekufuran meskipun dia belum bertaubat sampai dia meninggal dalam keadaan beriman, maka dia berada dibawah kehendak Allah, kalau Dia menghendaki maka akan mengadzabnya dan kalau tidak maka akan mengampuninya.34

  5. Sebagian ahlul-ilmi yang lainnya memberikan tuduhan kepada Abu Hanifah, bahwa beliau berpendapat al-Qur'an itu makhluk.

    Padahal telah dinukil dari beliau bahwa al-Qur'an itu adalah kalamullah dan pengucapan kita dengan al-Qur'an adalah makhluq. Dan ini merupakan pendapat ahlul-haq…, coba lihatlah ke kitab beliau Fiqhul-Akbar dan Aqidah Thahawiyah…, dan penisbatan pendapat al-Qur'an itu adalah makhluk kepada Abu Hanifah merupakan kedustaan.”35

Dan disana masih banyak lagi bentuk-bentuk penilaian negatif dan celaan yang diberikan kepada beliau, hal ini bisa dibaca dalam kitab Tarikh Baghdad juz 13 dan juga kitab al-Jarh wa at-Ta'dil juz 8 hal. 450.

Dan kalian akan mengetahui riwayat-riwayat yang banyak tentang cacian yang ditujukan kepada Abu Hanifah -dalam Tarikh Baghdad- dan sungguh kami telah meneliti semua riwayat-riwayat tersebut, ternyata riwayat-riwayat tersebut lemah dalam sanad-nya dan mudhtharib dalam maknanya. Tidak diragukan lagi bahwa merupakan cela, aib untuk ber-ashabiyyah madzhabiyyah, … dan betapa banyak daripara imam yang agung, alim yang cerdas mereka bersikap inshaf (pertengahan) secara haqiqi. Dan apabila kalian menghendaki untuk mengetahui kedudukan riwayat-riwayat yang berkenaan dengan celaan terhadap Abu Hanifah maka bacalah kitab al-Intiqa' karya al-Hafizh Ibnu 'Abdil-Barr, Jami'ul-Masanid karya al-Khawaruzumi dan Tadzkiratul-Hufazh karya Imam adz-Dzahabi.36 Ibnu Abdil Barr berkata; “Banyak dari Ahlul-Hadits –yakni yang menukil tentang Abu Hanifah dari al-Khatib (Tarikh Baghdad)– melampaui batas dalam mencela Abu Hanifah, maka hal seperti itu sungguh dia menolak banyak pengkhabaran tentang Abu Hanifah dari orang-orang yang adil.37

Beberapa Nasehat Imam Abu Hanifah38

Beliau adalah termasuk imam yang pertama-tama berpendapat wajibnya mengikuti Sunnah dan meninggalkan pendapat-pendapatnya yang menyelisihi sunnah. dan sungguh telah diriwayatkan dari Abu Hanifah oleh para sahabatnya pendapat-pendapat yang jitu dan dengan ibarat yang berbeda-beda, yang semuanya itu menunjukkan pada sesuatu yang satu, yaitu wajibnya mengambil hadits dan meninggalkan taqlid terhadap pendapat para imam yang menyelisihi hadits. Diantara nasehat beliau adalah:

  1. Apabila telah shahih sebuah hadits maka hadits tersebut menjadi madzhabku.

    Syaikh Nashirudin al-Albani berkata; “Ini merupakan kesempurnaan ilmu dan ketaqwaan para imam. Dan para imam telah memberi isyarat bahwa mereka tidak mampu untuk menguasai, meliput sunnah/hadits secara keseluruhan.” Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Syafii; “Maka terkadang diantara para imam ada yang menyelisihi sunnah yang belum atau tidak sampai kepada mereka, maka mereka memerintahkan kepada kita untuk berpegang teguh dengan sunnah dan menjadikan sunnah tersebut termasuk madzhab mereka semuanya.

  2. Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil/memakai pendapat kami selama dia tidak mengetahui dari dalil mana kami mengambil pendapat tersebut. dalam riwayat lain, haram bagi orang yang tidak mengetahui dalilku, dia berfatwa dengan pendapatku.

    Dan dalam riwayat lain; “Sesungguhnya kami adalah manusia biasa, kami berpendapat pada hari ini, dan kami ruju' (membatalkan) pendapat tersebut pada pagi harinya.” Dan dalam riwayat lain; “Celaka engkau wahai Ya'qub (Abu Yusuf), janganlah engkau catat semua apa-apa yang kamu dengar dariku, maka sesungguhnya aku berpendapat pada hari ini dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat itu besok, besok aku berpendapat dengan suatu pendapat dan aku tinggalkan pendapat tersebut hari berikutnya.

    Syaikh al-Albani berkata; “Maka apabila demikian perkataan para imam terhadap orang yang tidak mengetahui dalil mereka. Maka ketahuilah! Apakah perkataan mereka terhadap orang yang mengetahui dalil yang menyelisihi pendapat mereka, kemudian dia berfatwa dengan pendapat yang menyelisihi dalil tersebut? Maka camkanlah kalimat ini! Dan perkataan ini saja cukup untuk memusnahkan taqlid buta, untuk itulah sebagian orang dari para masyayikh yang diikuti mengingkari penisbahan kepada Abu Hanifah tatkala mereka mengingkari fatwanya dengan berkata; 'Abu Hanifah tidak tahu dalil!'

    Berkata asy-Sya'rani dalam kitabnya al-Mizan 1/62 yang ringkasnya sebagai berikut; “Keyakinan kami dan keyakinan setiap orang yang pertengahan (tidak memihak) terhadap Abu Hanifah, bahwa seandainya dia hidup sampai dengan dituliskannya ilmu Syari'at, setelah para penghafal hadits mengumpulkan hadits-haditsnya dari seluruh pelosok penjuru dunia maka Abu Hanifah akan mengambil hadits-hadits tersebut dan meninggalkan semua pendapatnya dengan cara qiyas, itupun hanya sedikit dalam madzhabnya sebagaimana hal itu juga sedikit pada madzhab-madzhab lainnya dengan penisbahan kepadanya. Akan tetapi dalil-dalil syar'i terpisah-pisah pada zamannya dan juga pada zaman tabi'in dan atbaut-tabiin masih terpencar-pencar disana-sini. Maka banyak terjadi qiyas pada madzhabnya secara darurat kalau dibanding dengan para ulama lainnya, karena tidak ada nash dalam permasalahan-permasalahan yang diqiyaskan tersebut. berbeda dengan para imam yang lainnya…” Kemudian Syaikh al-Albani mengomentari pernyataan tersebut dengan perkataannya; “Maka apabila demikian halnya, hal itu merupakan udzur bagi Abu Hanifah tatkala dia menyelisihi hadits-hadits yang shahih tanpa dia sengaja –dan ini merupakan udzur yang diterima, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani manusia yang tidak dimampuinya-, maka tidak boleh mencela padanya sebagaimana yang dilakukan sebagian orang jahil, bahkan wajib beradab dengannya karena dia merupakan salah satu Imam dari Imam-imam kaum muslimin yang dengan mereka terjaga agama ini…

  3. Apabila saya mengatakan sebuah pendapat yang menyelisihi kitab Allah dan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih, maka tinggalkan perkataanku.

Wafatnya

Pada zaman kerajaan Bani 'Abbasiyah tepatnya pada masa pemerintahan Abu Ja'far al-Manshur yaitu raja yang ke-2, Abu Hanifah dipanggil ke hadapannya untuk diminta menjadi qadhi (hakim), akan tetapi beliau menolak permintaan raja tersebut –karena Abu Hanifah hendak menjauhi harta dan kedudukan dari sulthan (raja)– maka dia ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara dan wafat dalam penjara.39

Dan beliau wafat pada bulan Rajab pada tahun 150 H dengan usia 70 tahun, dan dia dishalatkan banyak orang bahkan ada yang meriwayatkan dishalatkan sampai 6 kloter.40

Daftar Pustaka:

  1. Tarikhul-Baghdad karya Abu Bakar Ahmad al-Khatib al-Baghdadi cetakan Dar al-Kutub Ilmiyah Beirut.

  2. Siyarul-A'lamin-Nubala' karya al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi cetakan ke-7 terbitan Dar ar-Risalah Beirut.

  3. Tadzkiratul-Hufazh karya al-Imam Syamsudin Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi terbitan Dar al-Kutub 'Ilmiyah Beirut.

  4. al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir cetakan Maktabah Darul-Baz Beirut.

  5. Kitabul-Jarhi wat-Ta'dil karya Abu Mumahhan 'Abdurrahman bin Abi Hatim bin Muhammad ar-Razi terbitan Dar al-Kutub 'Ilmiyah Beirut.

  6. Shifatu-Shalatin-Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karya Syaikh Nashirudin al-Albani cetakan Maktabah al-Ma'arif Riyadh.

Catatan Kaki:

  1. ^ Diringkas dan diterjemahkan dari kitab Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 323-454, Siyarul-A'lamin-Nubala' juz 6 hal. 390-403, Tadzkiratul-Hufazh juz 1 hal. 168-169, al-Bidayah wa an-Nihayah juz 10 hal. 87-88.
  2. ^ al-Bidayah wa an-Nihayah juz 10 hal. 87.
  3. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 390.
  4. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 395 dan Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 324-325.
  5. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 395.
  6. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 395.
  7. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 399-400 dan Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 330.
  8. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 392.
  9. ^ Tadzkiratul-Hufazh juz 1 hal. 168; Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 391-392; al-Bidayah wa an-Nihayah juz 10 hal. 87 dan Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 324.
  10. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 333.
  11. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 326.
  12. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 393-394; Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 324; Tadzkiratul-Hufazh Juz 1 hal. 168; dan al-Bidayah wa an-Nihayah juz 10 hal. 87.
  13. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 395.
  14. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 395 dan al-Bidayah wa an-Nihayah juz 10 hal. 87.
  15. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 449.
  16. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 398 dan al-Bidayah wa an-Nihayah juz 10 hal. 87.
  17. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 403.
  18. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 363.
  19. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 358.
  20. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 343.
  21. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 401.
  22. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 340.
  23. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 403.
  24. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 340.
  25. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 360 dan Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 400.
  26. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 402.
  27. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 403.
  28. ^ Siyarul-A'lamin-Nubala juz 6 hal. 402.
  29. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 353.
  30. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 451.
  31. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 hal. 451.
  32. ^ Kitabul-Jarhi wat-Ta'dil juz 8 hal. 450.
  33. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 dalam catatan kaki hal. 375.
  34. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 dalam catatan kaki hal. 378-379.
  35. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 dalam catatan kaki hal. 384.
  36. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 dalam catatan kaki hal. 369.
  37. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 dalam catatan kaki hal. 369.
  38. ^ Nasehat ini diringkas dan diterjemahkan dari kitab Sifatu Shalatin-Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karya Syaikh Nashirudin al-Albani dari hal. 45-48.
  39. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 dalam catatan kaki hal. 328.
  40. ^ Tarikhul-Baghdad juz 13 dalam catatan kaki hal. 453 dan al-Bidayah wa an-Nihayah juz 10 hal. 88.

Imam Malik, Imam Darul-Hijrah

Islam adalah agama yang Allah Subhanahu wa Ta'ala ridhai. Diantara bentuk keridhaan-Nya adalah menjaga agama Islam ini dari kepunahan dan kerusakan. Satu diantara bentuk penjagaan itu ialah dengan memunculkan para ulama sebagai penerus dan pewaris Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam rangka menyampaikan risalah suci kepada manusia, membela dan mempertahankannya dari gangguan 'tangan-tangan' musuh Islam dan muslimin, yang tidak senang dengan langgengnya kemurnian Islam. Baik dari orang-orang kafir, kaum munafik, ahli bid'ah atau siapa saja yang serupa dan mengikuti jejak mereka. Banyak sekali ulama Islam yang muncul setelah masa kenabian, dan salah satunya adalah yang ingin kami hadirkan ke hadapan para pembaca guna mengambil pelajaran dan ibrah dari perjalanan hidupnya. Dia adalah salah satu dari empat imam dari generasi ketiga yang tentu tidak asing lagi di telinga kita.

Nasab dan Pertumbuhan

Ia adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir al-Ashbahi1 al-Himyari2 al-Madani3. Ibunya bernama 'Aliyah binti Syuraik al-Azdiyah.

Imam Darul-Hijrah adalah gelar yang disandangnya, dengan kun-yah Abu 'Abdillah.

Ia terlahir di kota Madinah pada tahun 93H4. Tahun itu kaum muslimin berkabung karena wafatnya Anas bin Malik an-Najjari al-Anshari radhiyallahu 'anhu.

Tanda-tanda keluarbiasaannya telah tampak sejak ia berada dalam kandungan, karena tak seperti bayi yang lain, ia berada dalam kandungan ibunya selama tiga tahun.5

Pada masa pertumbuhannya, Malik bin Anas hidup dalam lingkungan yang terjaga, penuh suasana bahagia dan keindahan. Ia mulai menuntut ilmu pada usianya yang belia. Ketika masih berusia belasan tahun, beliau sudah menimba ilmu dari ulama generasi tabi'in yang masih ada saat itu6 seperti Nafi' maula Ibnu Umar, Sa'id al-Maqburi, 'Amir bin 'Abdullah bin az-Zubair bin al-'Awwam, Muhammad bin al-Munkadir, az-Zuhri, Abdullah bin Dinar, Ayub as-Sikhtiyani, Ja'far bin Muhammad ash-Shadiq, Humaid ath-Thawil, Rabi'ah ar-Ra'y, Zaid bin Aslam, Salamah bin Dinar, Shalih bin Kaisan, Abu Zinad 'Abdullah bin Dzakwan, 'Atha' al-Khurasani, Hisyam bin Urwah, Yahya bin Sa'id al-Anshari dan masih banyak lagi yang lainnya dari generasi tabi'in. Begitu pula ia mengambil ilmu dari teman-teman seangkatannya dari para atba' tabi'in yang sama-sama menuntut ilmu. Sehingga bila dihitung jumlah semua orang yang pernah ia ambil ilmunya adalah sekitar 1.400 orang.

Begitu banyak guru yang mengajarnya, sehingga tidaklah mengherankan bila kemudian ia menjadi sosok seorang alim sejati yang pada usia dua puluh satu tahun sudah bisa berfatwa. Usia yang masih relatif muda untuk ukuran seorang alim pada zamannya. Bahkan ia menjadi seorang imam dalam bidang hadits di kota kelahirannya, Madinah, kota Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam; kota tempat kaum muslimin berhijrah pada awal perjuangan Islam. Karena itulah ia digelari dengan Imam Darul-Hijrah. Selain sebagai seorang ahli dalam bidang hadits, ia juga adalah seorang yang faqih di masanya. Ijtihad dan pendapat-pendapatnya kemudian dijadikan pegangan oleh banyak kaum muslimin dan dijadikan sebagai suatu mazhab yang dianut sampai saat ini.

Ilmu Imam Malik

Karena keluasan ilmu hadits dan fikih yang dimilikinya, banyak orang yang duduk mengambil faedah dan berguru kepadanya. Bahkan diantara mereka yang turut menimba ilmu darinya adalah guru-gurunya sendiri seperti pamannya sendiri Abu Suhail, Yahya bin Abi Katsir, az-Zuhri, Yahya bin Sa'id al-Anshari, Yazid bin al-Had, Zaid bin Abi Unaisah, Umar bin Muhammad bin Zaid, dan lainnya.

Banyak pula teman-teman sebayanya yang menimba ilmu darinya seperti Ma'mar, Ibnu Juraij, Abu Hanifah, al-Auza'i, Syu'bah, Sufyan ats-Tsauri, al-Laits bin Sa'ad, Hammad bin Zaid, dan yang lainnya.

Belum lagi murid-murid yang tingkatannya dibawah beliau seperti Sufyan bin Uyainah, 'Abdullah bin al-Mubarak, ad-Darawardi, Ibnu Ulayyah, Muhammad bin al-Hasan al-Faqih7, 'Abdurrahman bin Mahdi, 'Abdullah bin Wahb, Waqi', Yahya al-Qaththan, Abu Hudzafah8, dan salah satunya adalah imam yang masyhur diantara imam yang empat, yaitu Imam as-Syafi'i –rahimahullah-, serta masih banyak lagi yang lain yang datang dari berbagai penjuru negeri di masa khalifah Abu Ja'far al-Manshur, terlebih lagi pada masa khalifah Harun ar-Rasyid.

Pujian Para Ulama Terhadapnya

Pujian demi pujian terlayangkan kepadanya, baik dari para ulama sezamannya maupun yang datang setelahnya. Diantara pujian tersebut adalah apa yang dikatakan oleh Ibnu 'Uyainah tatkala menafsirkan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang berbunyi; “Nanti, akan keluar orang-orang dari arah timur dan barat demi menuntut ilmu, lalu mereka tidak menjumpai seorang pun yang lebih alim daripada alimnya kota Madinah.

Ibnu Uyainah berkata; “Dahulu aku katakan yang dimaksud (dengan 'alimnya kota Madinah') dalam hadits tersebut adalah Sa'id bin al-Musayyib, tetapi bukankah di zamannya masih ada Sulaiman bin Yassar, Salim bin 'Abdullah, dan yang lainnya? Maka sekarang saya katakan bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah Malik bin Anas, karena tidak ada alim lain yang menandinginya (saat itu).

Di lain waktu Ibnu Uyainah juga berkata; “Malik adalah alimnya penduduk Hijaz, dan ia adalah hujjah di zamannya.” Imam asy-Syafi'i menyambungnya seraya berkata; “Hal itu benar, dan bila ulama disebut-sebut, maka Malik-lah bintangnya.” Dalam riwayat yang lain beliau mengatakan; “Bila hadits disebut-sebut maka Malik-lah bintangnya.

Imam an-Nasa'i berkata; “Aku tidak punya orang setelah generasi tabi'in yang lebih pandai, mulia, tsiqah, dan terpercaya dalam hadits, selain Malik.” Ibnu Hibban berkata; “Malik adalah orang pertama yang memilah-milah para perawi dari kalangan fuqaha di Madinah.

Yahya bin Sa'id al-Anshari, ketika ditunjuk oleh Amirul-Mukminin Abu Ja'far al-Manshur untuk menjadi qadhi, pernah meminta kepada Malik agar menuliskan untuknya seratus hadits ketika ia hendak pergi ke Irak.

Dan Abu Ja'far sendiri sering bertanya kepadanya tentang halal dan haram, sampai suatu saat ia berkata kepada Malik; “Demi Allah, engkau adalah orang yang paling pandai dan alim.” Malik menjawab; “Demi Allah, tidak demikian, wahai Amirul-Mukminin.” Abu Ja'far berkata; “Betul! Hanya saja engkau menyembunyikannya.” Lalu kata Abu Ja'far lagi; “Demi Allah, sungguh saya akan menulis perkataanmu sebagaimana ditulisnya mushaf-mushaf (al-Qur'an) demi kebaikan kita dan disebar ke berbagai pelosok negeri.

Meskipun banyak pujian yang terarah kepada beliau dari para ulama di zamannya, beliau tetap menunjukkan sikap tawadhu' (rendah hati) dan tidak ingin dilebih-lebihkan sebagaimana ungkapan beliau; “Tidaklah aku ini melainkan seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar. Karena itu, lihatlah pendapatku, apa saja yang sesuai dengan Sunnah, maka ambillah.

Pada suatu saat datanglah masa ujian dan cobaan bagi Imam Malik. Begini ceritanya. Abu Ja'far al-Manshur pernah melarang Malik menyampaikan hadits; “Seorang yang dipaksa (mentalak isterinya), tidak jatuh talaknya” dan berfatwa tentangnya. Kemudian ada seseorang yang ingin 'memancing di air keruh' bertanya kepada Imam Malik perihal hadits tersebut. Sang Imam pun akhirnya menyampaikannya di hadapan khalayak, yang menunjukkan beliau tidak membenarkan talak dari orang yang dipaksa. Mendengar hal itu Abu Ja'far marah, lalu ia pun memerintahkan Ja'far bin Sulaiman, Gubernur Madinah saat itu, untuk mencambuk Malik. Maka, dicambuklah beliau sebanyak 70 kali hingga lumpuh separuh kedua tangannya. Namun begitu Imam Malik tetap teguh dan bersabar. Beliau mengusap darah di punggungnya lalu masuk ke dalam masjid dan shalat. Setelah itu dia berkata; “Seperti inilah yang dilakukan oleh Sa'id bin al-Musayyib ketika dahulu dicambuk.” Demikianlah, ujian dan cobaan tidak dapat terlepas dari kehidupan setiap mukmin, apalagi seorang alim yang berjalan mengikuti jejak para Nabi dan Rasul.

Keteguhannya di atas Sunnah dan Aqidah

Banyak kalimat dan atsar dari beliau yang menunjukkan beliau adalah seorang Imam pembela aqidah dan Sunnah, serta memerangi bid'ah dan para pelakunya. Diantaranya, beliau pernah berkata; “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para pemimpin setelahnya (Khulafa' Rasyidun) telah menetapkan sunnah-sunnah. Menjalankannya berarti mengikuti Kitabullah yang merupakan bentuk ketaatan sempurna kepada Allah dan keteguhan di atas agama-Nya. Siapa saja yang mengambilnya sebagai petunjuk, maka akan diberi petunjuk, dan siapa pun yang mencari pertolongan dengannya, niscaya dia akan ditolong. Sebaliknya, barangsiapa yang meninggalkan jalan kaum mukminin (yakni para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), maka Allah akan memalingkannya ke arah mana dia berpaling, lalu memasukkannya ke dalam neraka Jahannam, dan Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali –wal 'iyadzu billah-.

Asy-Syafi'i menceritakan bahwa Imam Malik pernah didatangi oleh sebagian ahli bid'ah lalu beliau berkata; “Adapun aku, maka sungguh aku berada diatas petunjuk agamaku, adapun kamu pergilah kepada orang yang ragu sepertimu,” lalu beliau pun membantah mereka.

Imam Malik pernah ditanya; “Apa pendapatmu tentang orang yang mengatakan al-Qur'an itu makhluk?” Beliau menjawab; “Dia itu seorang zindiq (kafir), maka bunuhlah.

Di lain waktu beliau mengatakan; “al-Qur'an itu kalamullah. Kalamullah adalah bagian dari (dzat dan sifat) Allah, dan tidak ada satu pun dari (sifat dan dzat) Allah yang dikatakan makhluk.

Beliau juga pernah ditanya tentang kelompok Qadariyah, jawab beliau; “Saya berpendapat bahwa mereka harus diminta bertaubat. Jika mereka bertaubat, (maka diterima taubatnya), sedang jika tidak, maka dibunuh.

Pernah ada seseorang datang kepada Imam Malik membaca firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

Artinya; “Allah beristiwa'9 di atas 'Arsy.” (QS. Thaha [20] : 5)

Kemudian orang itu bertanya; “Bagaimana istiwa' Allah itu?” Imam Malik marah sampai berkeringat dan mengetuk-ngetuk tongkatnya ke tanah seraya berkata; “Istiwa' itu sama diketahui maknanya (dalam bahasa Arab). Adapun hakikatnya, tidaklah diketahui. Mengimaninya wajib, dan bertanya 'bagaimananya' adalah bid'ah. Dan saya kira kamu ini seorang ahli bid'ah.” Beliau lalu meminta agar orang itu dikeluarkan dari majelisnya.

Dalam riwayat lain beliau menjawab; “Allah ber-istiwa' sebagaimana yang Ia sifati sendiri untuk diri-Nya, tidak boleh ditanya bagaimananya.

Beliau juga mengatakan; “Allah itu di atas langit, dan ilmunya ada di segala tempat. Tiada satu pun yang terluput dari pengetahuan-Nya.

Demikianlah kalimat-kalimatnya yang tegas dalam memegang Sunnah dan aqidah yang lurus, serta memerangi bid'ah dan para pelakunya.

Wafatnya

Beliau wafat pada bulan Rabi'ul Awwal tahun 179 H di Madinah dalam usia 86 tahun. Jenazahnya dishalati oleh Gubernur Madinah saat itu, Abdullah bin Muhammad al-Abbasi al-Hasyimi, lalu dimakamkan di pemakaman Baqi'.

Karya-Karyanya

Imam Malik meninggalkan karya-karya yang sangat berharga dan tinggi nilainya bagi kaum muslimin, diantaranya yang paling terkenal dan menjadi salah satu kitab induk dalam merujuk hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu kitab al-Muwaththa'. Disamping itu, karya-karya beliau yang lain seperti Risalah fil-Qadar, Risalah fil-Aqdhiyah, Juz' fit-Tafsir, Kitab as-Sir, dan lainnya. Belum lagi fatwa-fatwa dan jawaban-jawaban beliau terhadap berbagai permasalahan agama yang termuat dalam kitab al-Mudawwanah al-Kubra yang beliau susun sendiri, dan fatwa-fatwa beliau dalam kitab at-Tamhid yang disusun oleh Ibnu Abdil Bar.

Sebelum wafat, beliau sempat membaca potongan ayat ke-4 dalam surat Ar-Rum [30]:

Bagi Allah-lah segala urusan sebelum dan sesudah (terjadinya).

Itu menunjukkan keridhaan beliau dengan takdir Allah, karena ajal adalah bagian dari takdir-Nya.

Rahimahullahu rahmatan wasi'ah wa jazahu 'anil Islam wal muslimin khairal jaza'.

-Wallahu a'lam-

Referensi:

  1. Siyar A'lam an-Nubala' karya adz-Dzahabi.

  2. Tahdzib at-Tahdzib karya Ibnu Hajar.

  3. Ats-Tsiqat karya Ibnu Hibban.

  4. Kitab-kitab lain tentang rijal dan biografi para ulama.

Catatan Kaki:

  1. ^ Anak keturunan Dzu Ashbah yang bernama asli al-Harits bin 'Auf.
  2. ^ Nisbat kepada Himyar al-Ashghar yang nama aslinya adalah Zur'ah.
  3. ^ Nisbat kepada kota Madinah, tempat lahir dan tinggalnya.
  4. ^ Ada pula yang mengatakan tahun 94 H.
  5. ^ Seperti diberitakan oleh Yan'aqid, al-Waqidi, dan Muhammad bin adh-Dhahhak.
  6. ^ Tepatnya setelah wafatnya dua anak 'Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhuma, yaitu al-Qasim dan Salim.
  7. ^ Juga menjadi murid Imam Abu Hanifah.
  8. ^ Perawi al-Muwaththa’ yang merupakan muridnya yang terakhir wafat.
  9. ^ Istiwa' artinya tinggi diatas, sebagaimana dinukil oleh Bukhari dalam Shahih-nya dari sebagian tabi'in diantaranya Abu al-'Aliyah.