Rabu, 08 September 2010

BIOGRAFI AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-ASQALANI

Ibnu Hajar Al 'Asqalânî ; Panglima Muhadditsîni
(773-852 Hijriyah)


"Tiga perkara dunia yang bila terwujud bagi seseorang niscaya ia tak akan takut bahaya dan kerusakan: independen dan selamat dari [bahaya] pengejar dunia, kesehatan badan, dan akhir yang baik."(Nuzhum Al Iqyân: hlm. 16)


Masa Kecil dan Pendidikan
Ibnu Hajar Al 'Asqalânî bernama lengkap Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar bin Ahmad Al Kinânî Al 'Asqalânî, Al Mishrî, As Syafi'î. Beliau dilahirkan pada tanggal 12 Sya'ban, tahun 773 Hijriyahii di sebuah rumah di tepian sungai Nil, Mesir. Beliau di-kunyah-iiii oleh bapaknya dengan Abu Al Fadhl, dengan harapan agar sang anak meyerupai salah satu dari beberapa hakim agung Mekah yang bergelar sama.iv
Mengenai frase terkenal "Ibnu Hajar", beberapa referensi menyebutkan bahwa itu merupakan laqab (nama panggilan yang biasanya digunakan untuk memuji atau menghina dan bukan merupakan nama asli), sementara sumber yang lain mengatakan itu adalah nama asli. Namun pendapat terkuat, sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, As Sakhâwy dalam buku Ad Dhau Al Lâm'i (2/36), Ibnu Hajar adalah laqab terhadap sebagian moyang beliau.v
Para ahli sejarah sepakat bahwa Ibnu Hajar merupakan keturunan kabilah Kinanah yang merupakan sebagian dari rumpun bangsa Arab. Hal ini diperkuat dari keterangan manuskrip yang berjudull Al Mujma' Al Mu'assas yang ditulis sendiri oleh Ibnu Hajar.vi
Ibnu Hajar sendiri mencatat dalam buku Raf'u Al Ishr (hlm. 37), bahwa ayah kandungnya wafat pada saat beliau berumur empat tahun. Sebelumnya kematian ini telah didahului oleh mangkatnya Ibunda beliau. Jadilah Ibnu Hajar kecil sebagai yatim piatu yang kemudian diasuh dengan baik oleh seorang pengusaha sukses bernama Zakiy Ad Dîn Abi Al Bakr Al Kharrûbî. Pada usia lima tahun, orang tua asuh Ibnu Hajar memasukkannya ke sebuah lembaga pendidikan yang disebut Maktab. Sekitar umur sembilan tahun, Ibnu Hajar telah menghafalkan Al Qur'an melalui bimbingan seorang Syaikh yang bernama Muhammad bin Abdi Ar Razzâq As Safthî.
Pada tahun 784 H, Ibnu Hajar yang berumur sekitar 11 tahun menunaikan ibadah Haji bersama ayah asuhnya. Selama kurang lebih tiga tahun menetap di Mekkah dan di Al Quds, beliau menyibukkan diri untuk mengulang hafalan dan menambah keilmuannya. Hasilnya? Selain hafalan Al Qur'an yang semakin baik, beliau berhasil menghafal buku kumpulan hadist hukum, 'Umdat Al Ahkâm susunan Al Maqdisî, Mukhtashar Ibni Al Hâjib dalam konsentrasi Ushul, Mulhat Al 'I'irâb dalam konsentrasi Nahwu karya Al Harawîvii, Alfiyyah dalam konsentrasi Hadist karya Al 'Irâqî, Alfiyyah dalam konsentrasi Nahwu dan Sharf karya Ibnu Mâlik, dan At Tanbîh dalam konsentrasi fikih Madzhab Syafii, karya As Syîrâzî.viii Diriwayatkan bahwa kekuatan hafalan Ibnu Hajar saat itu melebihi teman-temannya, contohnya, beliau mampu menghafal Surah Maryam hanya dalam waktu sehari saja. Dalam 'Unwân Az Zamân (1/36) diterangkan bahwa cara menghafal Ibnu Hajar yaitu melalui merenung dan berfikir, sebagaimana dilakukan orang-orang cerdas pada umumnya.
Untuk semakin memantapkan Al Qur'an, terutama Tajwidnya, beliau kembali belajar kepada seorang syaikh yang bergelar As Syihâb Al Khuyûthî (w. 807 H.), dan mengikuti kajian buku As Shahîh dari syaikh Abi Al Faraj Abdi Ar Rahmân ibnu Al Mubârak Al Ghazzî (w. 777 H.). Begitu bersemangatnya Ibnu Hajar dalam menuntut ilmu sampai-sampai beliau menyewa dan meminjam sebagian buku yang diperlukannya.
Pada tahun 787 H., setelah meninggal ayah angkatnya, Ibnu Hajar berdagang selama beberapa waktu.ix
Ketika berumur 19 tahunx, Ibnu Hajar mendalami syair dan sastra Arab sehingga ia dianggap urutan kedua dari delapan bintang penyair di jamannya. Namun setahun kemudian, tepatnya pada tahun 793 H.xi, konsentrasi Ibnu Hajar beralih ke studi Hadist baik dengan mendengar, menulis, menganalisis, mengomentari, atau mengkodifikasikannya. Pakar Hadist pertama yang selalu diikuti dan diteladani oleh beliau adalah Abdurrahim bin Al Husain bin Abdurrahman atau yang dikenal dengan gelar Al Hâfizh Zain Ad Dîn Al 'Irâqî (725-806 H.). Selama kurang lebih sepuluh tahun belajar dari guru besar di antaranya pada bidang hadist dan sejarah inilah, Ibnu Hajar mendapat gelar Al Hâfizhxii atau pemuka di bidang Hadist, yang bahkan diakui melebihi kepakaran para guru-gurunya.xiii Mendokumentasikan masa belajar kepada Al Irâqî, Ibnu Hajar berucap, "Rufi'a al hijâb wa futiha al bâbu, wa aqbala al 'azmu al mushammimu 'alâ at tahshîl wa wuffiqa li al hidâyah ilâ sawâi as sabîl." (Hijab telah disingkap dan pintu telah dibuka, tekad yang kokoh untuk mereguh ilmu telah datang, dan penggapaian petunjuk menuju jalan yang lurus telah diberikan).xiv Di samping itu, beliau juga mengaji kepada para musnid yang berada di Kairo ataupun Mesir pada umumnya.
Ibnu Hajar juga mengaji kepada guru besar di bidang Fikih, Ushul, Sastra Arab, dan Tafsir saat itu yaitu Syaikh Al Islâm Sirâjuddîn Al Bulqîni As Syâfi'î (762-824 H.) Di samping itu beliau juga mengaji kepada Ibnu Al Mulaqqan (723-804 H.), seorang guru besar di bidang Hadist dan Fikih yang menulis sekitar 300 buah buku, juga kepada seorang alim besar yang biograpinya kurang terkenal, bernama Burhânuddîn Al Anbâsî.
Di bidang spesialisasi Ushul dan beberapa disiplin ilmu yang lain, Ibnu Hajar lama berguru dan melazimi guru besar, hakim agung Mesir, dan pengajar tetap di Mesjid Ibnu Thulûn, Abdul Aziz bin Muhammad bin Ibrahim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Jamâ'ah As Syâfi'î (694-767 H.).

Perjalanan Ilmiah
Khalil Al Meisxv (1984) mencatat bahwa perjalanan untuk mencari ilmu pengetahuan merupakan tradisi turun-temurun para ilmuan muslimin. Sebelum ke luar negeri, para penuntut ilmu biasanya menyelesaikan terlebih dahulu wawasan keilmuan lokalnya dari ilmuan-ilmuan dalam negeri.xvi
Sejarawan mencatat bahwa Ibnu Hajar memulai perjalanan ilmiahnya pada tahun 793 H. atau ketika berumur 20 tahun. Ibnu Hajar sendiri menulis (Inbâ Al Ghumr, 1/419) bahwa ia berangkat menuju Qûsh dan beberapa daerah di perkampungan badui Mesir dan mempelajari dan mengkaji karya-karya ulamanya.
Lima tahun setelah itu, Ibnu Hajar berangkat menuju Iskandariyya atau Alexanderia, Mesir. Di kota pesisir Laut Mediterania ini, Ibnu Hajar bersua dengan beberapa Muhaddist dan Musnid, di antaranya Syams Ad Dîn Al Jazrî (w. 834 H.), Ibnu Al Furâth (w. 803 H.), Ibnu Sulaymân Al Feisy (w. 798 H.) dan Ibnu Al Bûri (w. 799 H.). Keterangan seputar perjalanan ke kota ini terekam dengan baik di dalam karya Ibnu Hajar Al Asqalâni yang berjudul, Ad Durar Al Mudhiyyah fî Fawâid Al Iskandariyyah.
Tak hanya di Mesir, beliau juga menuntut ilmu kepada ulama-ulama besar di Syamxvii, Yaman dan Hijaz. Pada tahun 799 H., Ibnu Hajar berangkat menuju ke Hijaz.xviii Namun belum sampai ke daerah Pegunungan Sinai, beliau bertemu dengan beberapa ulama, di antaranya yang tercatat Ar Ridha Az Zabîdî, As Shalâh Al Aqfahsî (w. 820 H.), An Najm Al Murjânî (w. 827 H.) dan memanfaatkan kesempatan itu untuk belajar.
Pada perjalanan pertamanya ke Yaman, Ibnu Hajar bertemu dengan Ibnu Al Khayyath As Syâfi'î (w. 811 H.) Meski cukup menguasai Fikih, Ibnu Hajar masih mengaji kepada pakar fikih ini. Masih di Yaman, tepatnya di kota Zabid, Ibnu Hajar bertemu dengan beberapa ulama lainnya, seperti Ibnu Abd As Shamad Al Jabartî (w. 806 H.), seorang Mufti yang bernama Ahmad ibnu Abî Bakr An Nâsyirî (w. 815 H.), dan As Syarif ibnu Al Muqrî (w.837 H.). Meski cukup menguasai fikih, bahasa Arab dan sastra, Ibnu Hajar masih mengaji kepadanya. (Al Mu'jam Al Muassas, hlm. 209). Di kota ini juga Ibnu Hajar berguru dengan Al Allâmah Muhammad bin Ya'qûb bin Muhammad atau yang dikenal dengan Majd Ad Dîn As Syîrâzî Al Fairuzâbâdî As Syâfi'î (729-817 H.), pengarang Al-Qâmus Al Muhîth. Ulama ini merupakan pakar di bidang bahasa, sastra Arab, dan hadist dan juga menjabat hakim agung di Zabid, Yaman.
Masih di Yaman, tepatnya di kota Aden, Ibnu Hajar bertemu dengan Ar Ridhâ ibnu Al Musta'dzin (w. 816 H.) dan mengaji syair-syairnya. Sebaliknya, Al Musata'dzin juga mengaji dan belajar banyak kepada Ibnu Hajar. Bahkan, Al Musta'dzin menyalin beberapa karya Ibnu Hajar seperti Ta'lîq At Ta'lîq, Tahdzîb At Tahdzîb, dan Lisân Al Mîzân.
Ibnu Hajar juga pergi ke kawasan Hijaz beberapa kali. Di samping untuk mengerjakan ibadah haji, beliau juga memanfaatkan kesempatan itu untuk menuntut ilmu. Di antara guru beliau di sana yaitu Zain Ad Din Abd Ar Rahman ibn Muhammad As Saify (w. 825 H.)xix
Pada tahun 802 H., Ibnu Hajar berangkat menuju kawasan Syâm. Beliau bertemu dengan banyak ilmuan dan ulama di sana dan menetap selama 100 hari di Damaskus. Dalam masa itu, beliau menyimak sekitar seribu Al Juz Al Hadîsty.xx Selain ke Damaskus, beliau juga mengunjungi kota Halab (Aleppo), Himsh, dan Hamât.
Setelah melalui perjalanan panjang ini, Ibnu Hajar pulang kembali ke Mesir dan banyak mencurahkan kemampuan dan konsentrasinya dalam kajian Hadist dan menulis banyak buku yang berkualitas tinggi. Beliau mengajar di beberapa tempat, antara lain mengajar hadist di Syaikhûniyyah, di Mesjid Qal'ah, di Jamâliyyah, dan Bibirsiyyah. Beliau juga mengajar Fikih di Muayyadiyyah dan Syaikhûniyyah. Di samping itu, beliau juga diamanahi memimpin lembaga ulama di dua daerah yaitu di Bibirsiyyah dan sebuah tempat di dekat kubur Imam Syafi'î yang bernama As Shalâhiyyah. Pada tahun 829 H., beliau diamanahi untuk mengepalai otoritas kehakiman agung Mesir.
Tak pelak karena kompetensi akhlak, ilmu, dan otoritasnya, beliau diberi berbagai gelar kehormatan, di antaranya Amîr Al Muslimîn fi Al Hadîst (Pemimpin kaum muslimin dalam Disiplin Hadist), Syihâbuddîn (Bintang Islam), Qâdhî Al Qudhât (Jaksa Agung), Syaikh Al Islâm (Pemuka Agama Islam). Abdurrahman bin Abi Bakar bin Muhammad atau yeng dikenal dengan Jalâl Ad Dîn As Suyûtî (849-911 H.) dalam bukunya Nuzhum, menggelari beliau dengan gelar kehormatan seperti, Farîd 'Ashrihî (Pakar yang langka di jamannya), Hâmil liwâ As Sunnah (Pemegang panji Sunnah Nabi), Dzahabiy Hadza Al 'Ashr (Emas berkilau di jamannya), Muqaddam 'Asâkir Al Muhadditsin (Panglima pasukan Muhadditsîn) dan berbagai gelar luar biasa lainnya.xxi

Guru-guru Ibnu Hajar
Dalam keterangan yang ditulis oleh Ibnu Hajar di buku "Jumân Ad Durar" (hlm 12-24), disebutkan bahwa jumlah guru beliau mencapai sekitar 450 orang, baik dengan ijâzah (lebih mendalam dan rutin hingga mendapatkan lisensi), mengaji (samaa'/mendengarkan), atau ifâdah (mengambil manfaat secara singkat atau di kesempatan yang terbatas).
Menurut pendapat yang lain, jumlah guru beliau mencapai 600 orang, di luar mereka yang merupakan sahabat dan tempat saling bertukar fikiran dengan beliau. Secara lebih lengkap, Ibnu Hajar sendiri secara khusus menulis dua buku (yang sekarang berbentuk manuskrif) yang dedikasikan untuk guru-guru beliau, yaitu "Al Mujma' Al Muassas li Al Mu'jam Al Mufahras" dan "Tajrîd Asânîd Al Kutub Al Masyhûrah wa Al Ajzâ Al Mantsûrah Al Musamma bi Al Mu'jam Al Mufahras".
Berikut adalah sebagian guru besar Ibnu Hajar dalam bidangnya masing-masing.
1.Ibrâhim At Tanûkhi (w. 800 H.) dalam bidang Qirâât;
2.Az Zein Al 'Irâqy (w.806 H.) dalam bidang hadist dan yang berkaitan langsung dengannya;
3.Al Haitsamy (w.807 H.) dalam bidang penghafalan dan penguasaan buku-buku matan/pegangan dasar ilmu;
4.Sirâj Ad Dîn Al Bulqîny (w.805 H.) dalam kedalaman pemahaman dan hafalan serta cermatnya analisis;
5.Ibnu Al Mulaqqan (w. 804 H.) dalam kecermatan dan kecepatan menulis;
6.Al Majd As Syîrâzy (w. 817 H.) dalam bidang hafalan Bahasa dan analisisnya;
7.Al Ghumâry (w. 802 H.) dalam pendalaman dan hafalan Bahasa Arab dan bidang-bidang yang berkaitan langsung dengannya;
8.Al Muhibb Ibnu Hisyâm (799 H.). Ibnu Hajar mengaji kepadanya "Ulûm Al Hadîst" karya Ibnu Shalâh, dan "Hikâyât Abî Aly Al Faqîh".
9.Al 'Izz Ibnu Jamâ'ah (w. 819 H.) dalam penguasaan di berbagai bidang.xxii

Ibnu Hajar dan Keluarga
Pada tahun 798 H., ketika berumur 25 tahun, Ibnu Hajar menikah dengan seorang perempuan yang bernama Anas, puteri seorang hakim dan kepala pasukan bersenjata yang bernama Karim Ad Dîn Abd Al Karîm ibn Ahmad ibn Abdil 'Azîz. Keluarga Karîm dikenal sebagai keluarga terdididk dan terpandang.
Terhadap isterinya, Ibnu Hajar begitu perhatian. Beliau mengajaknya untuk mendengarkan hadist langsung kepada Hâfiz Al 'Ashr, (Hafizh Jaman itu), Az Zain Al 'Irâqî, dan Asy Syarif ibnu Al Kuwaik. Bahkan isteri beliau ini diundang untuk memperoleh berbagai ijazah dari beberapa Huffâzh dan Musnid. Dengan ditemani oleh suami, isteri Ibnu Hajar ini mengajarkan ilmu yang didapatnya. Pada tahun 815 H., beliau mengajaknya mengerjakan ibadah haji. Dari isteri pertama ini, Ibnu Hajar dikaruniai lima orang puteri, yaitu Zein Hâtun, Farha, Ghâliba, Râbia, dan Fâthima.xxiii
Isteri kedua Ibnu Hajar adalah janda yang melahirkan seorang anak perempuan yang lalu meninggal. Setelah itu, isteri kedua ini ditalak oleh beliau. Lalu pada tahun 836, dalam sebuah perjalanan ke kota Âmid,xxiv beliau kembali beristeri dengan perempuan yang namanya Laylâ. Namun, dari Layla, Ibnu Hajar tidak dikaruniai keturunan.
Pada tahun 815 H., keinginan Ibnu Hajar untuk mendapatkan keturunan laki-laki akhirnya ia peroleh dari isterinya yang bernama, Khâsh Turk. Anak laki-laki satu-satunya ini beliau beri nama, Muhammad dan bergelar, Badr Ad Dîn Abu Al Ma'âlî. Tak pelak, Ibnu Hajar begitu memperhatikan pendidikan putera semata wayangnya ini. Beliau mengajaknya untuk mendengarkan kajian Hadist dari Al Wâsithi dan beberapa orang ilmuan lainnya. Bahkan diterangkan di dalam buku Al Jawâhir wa Ad Durar (hlm. 284), bahwa Ibnu Hajar mendedikasikan karya fenomenalnya dalam kumpulan Hadist hukum, Bulûgh Al Marâm min Adillat Al Ahkâm untuk putera beliau itu. Sebaliknya, sang anak banyak meriwayatkan dari ayahnya, dan di kemudian hari berprofesi sebagai ahli hukum.

Kondisi Umum Masyarakat
Ibnu Hajar hidup di seperempat akhir dari abad kedelepan hingga pertengahan abad kesembilan Hijriyah. Bisa dikatakan Ibnu Hajar merasakan fase pemerintahan Ayyubiyah hingga fase transisi dan jatuhnya kekuasaan kepada pemerintahan Mamalik (784-923 H.). Tampaknya, kondisi politik, ekonomi, sosial, keagamaan, dan keilmuan sedikit banyaknya, ikut berpengaruh terhadap kepribadian dan corak pemikiran Ibnu Hajar.
Secara politis, pemerintahan Mamalik, berusaha menjaga keutuhan otoritas kekuasaannya dan melindungi kedudukan agama dan otoritas syariat. Mereka masyhur dengan sikap hormat dan akrab kepada ulama. Mereka membangun mesjid-mesjid, lembaga pendidikan, rumah sakit dan benteng-benteng pertahanan, dan fasilitas-fasilitas masyarakat lainnya.
Saat itu, otoritas Mamalik dikenal dengan kondisi social yang cukup dinamis dan berkembang di seluruh aspek kehidupan. Secara de jure dan simbolik, Akidah Islam, menjadi ideologi masyarakat dan hukum-hukum Allah memiliki kehormatan dan tempat yang kuat.
Namun, secara de facto, pembangunan di masyarakat tidak merata. Masih terlihat penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakadilan, umpamanya dengan diberlakukannya pajak yang semakin menindas golongan ekonomi kelas bawah. Sementara itu, kenyataan jarak antara golongan kelas atas dengan bawah semakin jauh. Padahal ajaran Islam datang untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi hal itu.
Sejarawan Abd As Sattâr As Syaikh (2002) mendedahkan bahwa pada saat itu terdapat empat kelas sosial. Yang pertama atau yang paling diuntungkan adalah kelas para penguasa dan Mamalik. Mereka biasanya hanya disibukkan dengan urusan-urusan pribadi seperti latihan perang, olahraga dan tidak berbaur dengan masyarakat luas. Kelas kedua adalah golongan cendikia termasuk di dalamnya para jaksa dan para pengajar di institusi-institusi pendidikan. Mereka ini mendapat perhatian khusus dari penguasa dan biasanya dijadikan konsultan dalam rapat-rapat kebijakan pemerintahan. Di samping itu, mereka dihormati di tengah masyarakat. Kelas ketiga, yaitu para pengusaha atau praktisi bisnis. Karena kedudukan dan kekayaannya, mereka tidak digerogoti oleh kekuatan feodalisme sehingga tidak dieksploitasi secara langsung. Yang kelas keempat, adalah kelas masyarakat umum baik itu buruh, petani, pengrajin kecil. Kelas terbesar masyarakat ini hampir bisa dikatakan dalam kondisi yang memprihatinkan; hidup segan mati tak mau.
Pada tataran ekonomi, pertumbuhan ekonomi relatif meningkat karena sektor pertanian, perindustrian, dan perdagangan terus digenjot. Sektor perdagangan dipilih sebagai penggerak utama ekonomi. Hal ini dikarenakan secara geopolitik dan geoekonomi, kondisi jalur perdagangan internasional lintas barat dan timur yang tidak aman akibat ekspedisi Mongolia yang cukup ekstensif. Sementara jalur perdagangan satu-satunya yang lebih mudah dan aman adalah jalur Laut Merah dan melewati Mesir. Kondisi ini menjadi keuntungan tersendiri bagi penguasa Mamalik dan dengan baik mereka manfaatkan. Sayangnya, pendapatan dari sektor ini tidak dengan baik dirasakan oleh masyarakat umum, sebab sistem feodalisme masih berlaku.
Di sisi lain, tataran ritual keagamaan mendapat perhatian yang luar biasa. Mesjid-mesjid didirikan; kegiatan-kegiatan bercorak keagamaan diselenggarakan. Tercatat jumlah mesjid yang dibangun ketika fase Mamalik mencapai angka seribu, dan jargon atau misi ideal pendiriannya yaitu: "Himpunan keislaman yang ramai dengan satuan-satuan kajian keilmuan; berhiaskan ulama-ulama besar dan bukan sekadar untuk ritual keagamaan". Penting dicatat bahwa penyebaran ajaran Tasawuf melalui guru-gurunya menjadi fenomena unik fase Mamalik. Tercatat bahwa banyak di antara masyarakat umum yang berafiliasi dan berhubungan dengan guru-guru sufi.
Yang paling menarik adalah tradisi keilmuan yang masih dipertahankan dengan cukup baik pada fase ini. Lebih khusus di Mesir dan Syam. Orang akan dibuat takjub dengan fasilitas referensi yang berlimpah di berbagai bidang keilmuan. Hal ini setidaknya disebabkan oleh beberapa faktor.
(1)Kondisi geoislami yang lebih memberikan peluang yang besar kepada Mesir sebagai persinggahan ulama dan ilmuan setelah sebelumnya Bagdad diruntuhkan oleh agresi Mongolia; juga Andalusia yang direbut oleh pasukan Salib;
(2)Kondisi psikologis ulama dan ilmuan terhadap besarnya tanggungjawab dan kewajiban untuk mengembalikan kembali pusaka dan perpustakaan keilmuan yang rusak dan hilang akibat serangan Tartar. Kondisi ini melahirkan semangat langka dan luar biasa dalam proyek penulisan dan kodifikasi berbagai disiplin keilmuan sehingga lahir produk-produk intelektual baru yang tak kalah berkualitas dari masa sebelumnya;
(3)Secara struktural, pemerintah mendukung budaya keilmuan dan bahkan ikut serta dalam sebagian kajian ilmiah. Mereka sangat perhatian dengan institusi-institusi keilmuan yang menelurkan para ilmuan baik itu di mesjid atau sekolah resmi. Tak pelak dana pendidikan digulirkan dengan jumlah yang banyak, fasilitas-fasilitas pendukung seperti perpustakaan berkualitas dibangun, para pelajar mendapatkan dana bantuan pendidikan. Sikap penguasa ini menjadi contoh dan motivasi bagi sebagian rakyat untuk ikut memajukan pendidikan. Demikianlah, ilmuan dan buku-buku berkualitas lahir dari fase ini.
Di sisi lain, para agamawan/ulama pada umumnya masih berpegang teguh dengan prinsip keilmuan dan pengamalannya. Dengan kata lain, hanya sedikit dari mereka yang tidak mengamalkan keilmuannya, dan jumlah mereka tidak kemudian mengotori jaman keemasan keilmuan saat itu.xxv

Senarai Akhlak dan Corak Pemikiran
Ibnu Hajar juga dikaruniai akhlak yang tinggi, ilmu yang luas dan langka, juga perawakan yang baik dan berwibawa. Beliau dikenal makan dan minum tidak berlebihan; sekadar untuk keperluan. Orangnya lebih banyak diam namun saat diperlukan, berbicara dengan baik dan tidak dipaksakan. Mandiri untuk keperluan-keperluan yang bisa beliau kerjakan sendiri. Cerdas namun dapat mengendalikan diri. Kritis namun tawadhu' dan tidak menjatuhkan lawan bicaranya. Bahkan terhadap orang yang berbuat jahat kepadanya, beliau selalu berusaha membalas dengan kebaikan dan memaafkannya. Wara' (selektif terhadap hal-hal yang beresiko kepada dosa). Pemurah namun adil dan bertawakkal. Empati terhadap musibah yang menimpa orang lain. Menunaikan hak tetangga dan fakir miskin. Pengasih terhadap yang kecil dan penuntut ilmu, namun juga menghormati yang tua.
Di samping itu, Ibnu Hajar konsisten dalam beribadah. Beliau hampir tak pernah meninggalkan salat berjamaah dan salat malam hingga saat dalam perjalanan. Beliau juga membanyakkan pergi haji namun tak kehilangan kepedulian sosialnya. Banyak mengingat Allah, beristighfar, bertasbih namun tidak lantas tak membaca Alqur'an.
Jujur tapi tegas. Sabar namun syukur. Singkat kata, Ibnu Hajar berusaha maksimal mengamalkan akhlak dan keilmuannya di setiap desah nafas. Beliau amat mencintai Alqur'an dan Sunnah.xxvi
Adapun corak pemikirannya, dikatakan oleh sebagian peneliti dan pakar sejarah bahwa Ibnu Hajar adalah ulama "lintas disiplin". Artinya, beliau tidak hanya menguasai Hadist baik secara riwayat atau dirayat,xxvii namun beliau menjadi rujukan dalam disiplin-disiplin keilmuan yang lain, seperti Tafsir, Bahasa-Sastra, Sejarah, dan Fikih. Hal ini diperkuat dengan keterangan yang ditulis oleh murid beliau, Al Biqâ'î dan Ibnu Fahd. Pasalnya, sebagaimana yang ditulis oleh As Sakhâwy (Al Jawâhir wa Ad Durar, hlm. 32-35), Ibnu Hajar diberi beberapa kelebihan yang sangat membantu aktivitas keilmuan beliau, sebagai berikut: (1) kecerdasan yang menyala-nyala dan keilmuan yang selektif dan mendalam; (2) membaca cepat dan berkualitas; (3) menulis cepat; dan (4) bantuan sahabat-sahabat beliau. Di samping beliau selelu menggunakan detik demi detik waktunya untuk kegiatan bermanfaat dan ilmiah, seperti membaca, mendengar, dan menulis ilmu pengetahuan.
Dari segi sastra dan bahasa dan ilmu timbangan syair Arab, beliau diakui kepakarannya. Bahkan dalam beberapa kesempatan di bukunya,xxviii beliau mengkritik beberapa ulama lain. Tak heran, para pakar bahasa sendiri berkonsultasi langsung kepada beliau dalam berbagai hal di bidang ini.
Dari segi landasan ideologi, Ibnu Hajar mengikuti dan menegaskan untuk mengikuti generasi salaf saleh dan menjauhi hal-hal yang tidak ada landasan dalam Islam dan bertentangan dengannya. Karena itu, beliau mencela Ilmu Kalam, mendukung sikap penyerahan makna sifat-sifat Allah yang seakan menyerupai makhluk kepada kehendak Allah sebenarnya. Bagi kita, cukup untuk mengimani segala sesuatu yang diwajibkan Allah atau lewat Rasul-Nya; menetapkan dan menghilangkan praduga keserupaan-Nya dengan makhluk.xxix
Gelar As Syâfii yang diembannya mengindikasikan bahwa dalam memformulasi (istinbâth) hukum, Ibnu Hajar mengikuti jejak dan metodologi Imam Muhammad ibnu Idrîs As Syafi'i, terutama dalam hal fondasi-fondasi pemahaman (Ushûl Fikih) dan Ushûl Al Hadîts sebagaimana yang tertera dalam banyak buku-buku primer karya Imam Syafii seperti Ar Risâlah, Ahkâm Al Qur'ân, Ikhtilâf Al Hadîst, Jimâ' Al 'Ilmi, Ibthâl Al Istihsân, dan Kitâb Al Qiyâs. Dalam konteks ini, Dr. Ali Jum'ah (2004) mengutip bahwa fundamen-fundamen madzhab Imam Syafii yaitu: (1) mengikuti Alqur'an dan Sunnah; (2) mengikuti kebenaran dan argumentasi/dalil selama dalil itu valid; (3) perhatian yang besar terhadap perkataan Sahabat Nabi; (4) menggunakan perangkat Qiyas secara proporsional. Artinya, tidak seketat Imam Malik dan tidak sebebas Imam Abu Hanifah; (5) I'tibâr Al Ashl fî Al Asyyâ atau realibilitas dan penggunaan asal/landasan murni dalam suatu persoalan; (6) Al Istishhâb dengan maksud ditetapkannya suatu hukum pada kondisi kedua dengan berdasarkan pada hukum pada kondisi pertama. Dengan catatan, bahwa dalil pembatal dan bertentangan tidak ditemukan; (7) Istiqrâ atau penalaran induktif yaitu penalaran dari kasus-kasus partikular untuk menarik kesimpulan umum.xxx
Sebagai ilmuan yang sejarawan, faqih dan ahli bahasa, Ibnu Hajar istimewa dengan kritititisme obyektif yang ia dapatkan dari disiplin Hadist yang beliau kuasai baik itu dari segi runtutan sejarah, biografi, status hadist, alur kesalahan para penulis atau kesalahan penyandaran pendapat dan sumber. Di samping itu, beliau jujur, namun tidak kehilangan estetika dan etika dalam mengkritik.xxxi

Wafat
Tanggal 25 Jumadil Akhir 852 H. Ibnu Hajar mengundurkan diri dari jabatan Jaksa Agung setelah bergelut kurang lebih selama 21 tahun-dengan segala rintangan dan dinamikanya. Selanjutnya beliau lebih banyak berdiam diri di rumah untuk mengajar dan menulis. Namun, enam bulan kemudian beliau terserang penyakit. Tercatat bahwa sebabnya adalah undangan makan di rumah salah seorang kerabat beliau. Di fase pertama sakitnya, beliau mampu menyembunyikan kondisi tersebut dengan tetap mengajar dan beraktivitas. Namun ketika sakitnya telah cukup parah, Ibnu Hajar tak mungkin lagi menyembunyikan kondisi sebenarnya kepada keluarga dan orang-orang dekatnya. Ibnu Fahd mengatakan bahwa Ibnu Hajar terserang muntaber akut sehingga akhirnya tidak mampu mengikuti salat berjamaah dan mengajar.
Melihat itu, para dokter menganjurkan Ibnu Hajar untuk meminum susu perah, sebagai alternatif obat pengganti, mengingat usia beliau yang tak muda lagi. Setelah mengikuti saran mereka, Ibnu Hajar berangsur sehat. Namun sebenarnya, beberapa waktu setelah itu beliau kembali menyimpan rasa sakit di perutnya. Sakit itu semakin parah karena di hari berikutnya, beliau tidak ikut salat Idha. Padahal sebelumnya beliau selalu mengikutinya, sebagaimana beliau selalu mengikuti salat Jumat dan salat berjamaah. Namun anehnya tiga hari selanjutnya, mendadak beliau kembali bisa beraktivitas untuk salat Jum'at dan berkunjung kepada salah satu isterinya. Kepada isteri tersebut, beliau memohon maaf dan keridaan atas segala kesalahan.
Setelah itu hari-hari berikutnya, Ibnu Hajar kembali sakit bahkan lebih parah sehingga beliau tak mampu salat malam dan berwudhu sendiri. Tak pelak dokter berdatangan. Sementara, banyak para ulama, ilmuan, masyarakat dan pemimpin yang datang mengunjungi hingga tibalah hari perpisahan yang telah ditetapkan.
Malam Sabtu, 18 Dzul Hijjah 852 H., di tengah keliling anak, cucu dan kerabat yang membacakan surah Yâsin hingga ayat "Salâmun qaulan min Rabbin Rahîm", dalam usia sekitar 79 tahun, beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Hari wafat Ibnu Hajar dipenuhi oleh ratusan ribu atau mungkin bahkan jutaan masyarakat yang melayat, sedih dan merasa kehilangan, Mereka tidak hanya dari kaum muslim namun juga dari kalangan non-muslim. As Sakhâwi mengatakan bahwa tak terhitung jumlah pelayat yang hadir saat itu. Bahkan diceritakan bahwa setelah kabar kewafataan beliau tersebar, diadakanlah Salat Ghaib di Mesjid Haram, Mesjid Nawabi, Mesjid Al Aqsha, hingga mesjid-mesjid lain di penjuru dunia.


Hasil Karya
Menukil dari ulama dan peneliti terkenal kelahiran Irak, Syakir Mahmud 'Abd Al Mun'im, Khalil Al Meis (1984) memperkirakan bahwa jumlah karya Ibnu Hajar mencapai lebih dari 150 buah. Dari segi obyeknya, gugusan karya ini berbicara dan menjawab pembahasan di berbagai hal. Dari sisi penyalinan, sebagian ada yang telah disalin dan sebagian yang lain belum; ada juga yang baru saja disalin, sebagaimana juga ada karya beliau yang belum selesai ditulis. Dari segi bentuk dan volume karya, ada sebagian yang berjilid-jilid, ada pula yang berbentuk buku-buku tipis; sebagian yang lain berupa dokumentasi jawaban pertanyaan, hal-hal langka, luar biasa, atau komentar yang secara riil merupakan produk atau output pola fikir kritis dan analitik yang beliau susun ketika menelaah karya para ulama yang terdahulu. Sementara dari sisi inovasinya, sebagian karya beliau ada yang benar-benar karya baru, sebagian yang lain berupa ringkasan, narasi, interpretasi, komentar, antologi, dan sebagian lagi editan dan suntingan.
Karya-karya Ibnu Hajar tersebar luas di dunia dan diburu semasa beliau hidup untuk dibaca. Sebagian yang lain, seperti kumpulan hadist hukum Bulûg Al Marâm dan metodologi dasar pengkaji Hadist Nukhbat Al Fikr dan keterangannya yang berjudul Nuzhat An Nazhr, dihafal. Bahkan, sebagian karyanya seperti Syarah Al Bukhâry dijadikan cinderamata di antara para raja dan penguasa seperti yang terjadi di antara Syah Rokh (w. 830 H.) dan Sultan Al Asyraf. xxxii
Berikut adalah sebagian karya fonemenal yang beliau rampungkan sesuai dengan obyek dan konsentrasinya.
(1) Ulûm Al Qurân (Ilmu-ilmu Al Qur'an)
Asbâb An Nuzûl;
Al Itqân fî Jam'i Ahâdîst Fadhâil Al Qurân;
Al Ihkâm lima fi Al Qur'ân min Al Ibhâm;
Mâ Waqa'a fî Al Qurân min Ghair Lughat Al 'Arab

(2) Ushûl Al Hadîts (Ilmu-ilmu Dasar Kajian Hadist)
Nukhbat Al Fikr fî Musthalah Ahl Al Atsar;
Nuzhat An Nazr fî Tawdhîh Nukhbat Al Fikr;

(3) Syarah Al Hadîst (Keterangan Hadist)
An Nukat 'alâ Tanqîh Az Zarkasy 'alâ Al Bukhâry;
Fath Al Bâry bi Syarh Shahîh Al Bukâry yang nampaknya merupakan karya paling terkenal. Buku ini memiliki mukaddimah/pengantar yang diberi nama "Hady As Sâry";

(4) Thuruq Al Hadîst (Ilmu Jalur-jalur Hadist)
Thuruq Hadîts Shalât At Tasbîh
Taghlîq At Ta'lîq;
Thuruq Hadîst Ta'allamû Al Farâidh;
Thuruq Hadîts Al Jâmi' fi Ramadhân;
Thuruq Hadîst Al Qudhât Tsalâtsah;
Thuruq Hadîst Man Banâ Masjidan;
Al Inârah bi Thuruq Hadîts Ghibb Az Ziyârah,
Al Waqf 'alâ Mâ fî Shahîh Muslim min Al Mawqûf;
Thuruq Hadîts Law Anna Nahran bi Bâbi Ahadikum;
Al Qaul Al Musaddad fî Ad Dzabb 'an Musnad Ahmad;
Thuruq Hadîts Man Shallâ 'alâ Janâzah fa lahû Qhîrâth;
Thuruq Hadîst Jâbir fi Al Ba'îr, Thuruq Hadîts Nadhara Allâhu Imra'an;
Thuruq Hadîst Al Gusl Yaum Al Jumu'ah min Riwâyat Nâfi' 'an Ibni Umar Khâshah;
Intiqâdh Al I'itirâdh, dimana beliau menjawab kritik Al 'Ayny yang termaktub pada buku "Umdat Al Qâry".

(5) Takhrîj Al Hadîst (Ilmu Penilaian Hadist)
Al Istidrâk 'alâ Syaikhi Al 'Irâqy fî Takhrîj Al Ihyâ;
Takhrîj Ahâdîst Muntahâ As Sûl;
Takhrîj Ahâdîst Adzkâr An Nawawy;
At Tamyîz fî Takhrîj Ahâdîst Al Wajîz;
Al Kâf As Syyâf fî Takhrîj Ahâdîts Al Kasyyâf,
Ad Dirâyah fî Takhrîj Ahâdîst Al Hidâyah, sebagai ringkasan "Nashb Ar Râyah";

(6) Kutub Al Athrâf (Buku-buku yang memuat penyebutan sebagian redaksi Hadist yang dapat menunjukkan sisanya, disertai penyusunan detil jalur transmisinya atau hanya menyebutkan sumber referensinya)
Ithâf Al Maharah bi Athrâf Al 'Asyarah;
An Nukat Az Zhirâf 'alâ Al Athrâf;
Athrâf As Shahîhain 'alâ Al Abwâb ma'a Al Masânîd;
Tasydîd Al Qaus fî Athrâf Musnad Al Firdaus

(7) Kutub Az Zawâid (Referensi yang memuat sejumlah hadist tambahan dari sebuah buku kumpulan hadist tertentu)
Al Mathâlib Al 'Âliyah bi Zawâid Al Masânid As Tsamâniyah;
Zawâid Al Adab Al Mufrad li Al Bukhârî 'alâ As Sittah;
Zawâid Musnad Al Harts 'alâ As Sittah

(8) Ilm Al Fiqh (Ilmu yang mengkaji hukum-hukum praktis berdasarkan formulasi yang beracuan kepada sumber dan asas hukum yang mendalam)
Manâsik Al Hajj;
Bulûg Al Marâm min Adillat Al Ahkâm;
Syarh Manâsik Al Minhâj An Nawawî

(9) Ensiklopedia dan biografi guru-guru beliau
Tajrîd Asânîd Al Kutub Al Masyhûrah wa Al Ajzâ Al Mantsûrah al Musamma bi Al Mu'jam Al Mufahras;
Al Mu'jam Al Muassas li Al Mu'jam Al Mufahras.

(10) Kutub Ar-Rijâl yang diantaranya Al Jarh wa At Ta'dîl (Referensi yang memuat spesifikasi kondisi dan status para perawi Hadist atau Atsar)
Thabaqât Al Huffâdz;
Lisân Al Mîzân;
Tahdzib At Tahdzîb;
Taqrîb At Tahdzîb;
Al Îstâr bi Ma'rifat Ruwât Al Âtsâr;
Nuzhat Al Albâb fi Al Alqâb;
Al Ishâbah fî Tamyîz As Shahâbah;
Ta'jîl Al Manfa'ah bi Rijâl Al Aimmah Al Arba'ah;
Al Ihtifâl fî Bayâni Ahwâl Ar-Rijâl Al Madzkûrîn fî Shahîh Al Bukhârî Ziyâdatan alâ Mâ fî Tahdzîb Al Kamâl

(11) Al Manâqib (Referensi yang memuat karakter terpuji seseorang)
Al Înâs bi Manâqib Al 'Abbâs;
Tarjamah Ibni Taymiyyah;
Tawâli At Ta'sîs bi Ma'âly ibni Idrîs;
Az Zahr An Nadhir fî Hâl Al Khidhir;

(12) Sîrah dan Sejarah
Al Anwar 'an Khashâis Al Mukhtâr;
Al Âyât An Nayyirât bi Khawâriq Al Mu'jizât;
Ad Durar Al Kâminah fî A'ayân Al Miah As Tsâminah;
Inbâ Al Ghumr bi Anbâ Al 'Umr;
Raf'u Al Isrh 'an Qudhât Al Mishr;

(13) Ilmu Al 'Ilal (Ilmu yang membahas kecacatan dalam transmisi ataupun matan suatu Hadist)
Syifâ Al Ghilal fî Bayân Al 'Ilal;
Az Zahr Al Mathlûl fî Al Khabar Al Ma'lûl

(14) Fadhâil Al A'amâl dan Akhlâk (Amalan yang terpuji dan Etika)
Kasyf Al Sitr bi Rak'atayi Al Witr;
Al Majmû' Al 'Âmm fî Âdâb As Syarâb wa At Tha'âm wa Dukhûl Al Hammâm;
Tabyîn Al 'Ajab fî Mâ Warada fî Shaum Rajab;
Al Khishâl Al Mukaffirah li Adz Dzunûb Al Muqaddimah wa Al Muakhhirah

Ada pula sebagian tulisan/karya Ibnu Hajar yang tidak rampung seperti Syarah At Tirmidzi, Athrâf Al Musnad Al Mu'talî bi Athrâf Al Musnad Al Hanbalî, dan beberapa tulisan lainnya.
Di samping itu, Ibnu Hajar banyak meninggalkan murid dan kader ulama, di antaranya:
(1)Muhammad bin Abd Ar Rahmân bin Muhammad atau yang masyhur dengan gelar Al Hâfizh As Sakhâwy As Syâfi'î (831-902 H.) Salah satu ulama besar kelahiran Mesir dan wafat di Madinah. Sebagian karyanya yaitu Fath Al Mughîts fi Syarh Alfiyyat Al Hadîst, Syarh At Taqrîb li An Nawawy, Syarh Asyamâil Al Muhammadiyyah, dll.
(2)Ibrâhim bin Umar bin Hasan atau yang dikenal dengan gelar Burhan Ad Dîn Al Biqâiy As Syâfi'î (809-885 H.), pengarang buku-buku fenomenal seperti "Nuzhum Ad Durar fî Tanâsub Al Âyi wa As Suwar, Al Bâhah fî Ilmay Al Hisâb wa Al Masâhah, Jawâhir Al Bihâr fî Nuzhum Sîrat Al Mukhtâr, dll.
(3)Zakariya bin Muhammad bin Ahmad atau yang dikenal dengan Zakariya Al Anshâry (829-926 H.). pengarang Fath Ar rahmân bi Kasyf Mâ Yaltabisu min Al Qur'ân, Syarh Syudzûr Ad Dzahab, Asnâ Al Mathâlib Syarh Raudh At Thâlib, dll.
(4)Ibnu Al Khaidhiry As Syâfi'î (821-894 H.) atau yang bernama Muhammad bin Muhammad bin Abd Allâh. Lahir di Damaskus dan wafat di Kairo. Di antara karyanya, Shu'ûd Al Marâqy fi Syarh Alfiyyah Al 'Irâqy, Syarh At Tanbîh li As Syîrâzy, Al Luma' Al Alma'iyyah li A'ayân As Syâfi'iyyah, dll.
(5)Al Kamâl ibnu Al Humâm Al Hanafy (790-861 H.) dll. Atau yang bernama Muhammad bin Abd Al Wâhid bin Abd Al Hamîd. Ilmuan lintas disiplin; fikih, ushul; tafsir; biologi, tasawuf, dll. Di antara karyanya, At Tahrîr fî Ushûl Al Fiqh, Fath Al Qadîr, Zâd Al Faqîr, dll.
(6)Ibnu Fahd Al Makki, Muhammad bin Muhammad bin Muhammad (787-871 H.), pengarang Nihayat At Taqrîb wa Takmîl At Tahdzîb bi At Tahdzîb, Dzail Thabaqât Al Huffâdzh, dll.

Penutup
Bagaimanapun, Ibnu Hajar merupakah tokoh besar dalam perjalanan keilmuan umat Islam juga dunia secara umum. Tulisan singkat ini tidak akan mampu menyoroti seluruh sisi kehidupan dan kebesaran beliau. Meski jasad beliau telah wafat, namun sejarah menulis nama dan kontribusi keilmuan dan kemanusian beliau dengan tinta emas. Sebagaimana perkataan Abd As Sattar As Syaikh, Ibnu Hajar hidup tidak hanya untuk diri pribadi, namun beliau mendedikasikan seluruh hidupnya untuk ilmu dan pengabdian terhadap ummat dan agama. Jazâhû Allahu 'khair al jazâ wa rahimahû rahmatan wâsi'ah. Suatu ketika, Ibnu Hajar berkata,

وقائلٍ هل عَملٌ صالحٌ ... أعْدَدْتَه ينفعُ عند الكُرَبْ
فقلتُ حسِبي خِدْمَةُ المصطفَى ... وحُبه فالمرءُ مَعَ مَن أحَبّ
"Seorang bertanya kepadaku, adakah amal saleh menyelamatkan yang engkau siapkan demi hari kesulitan? Kujawab, bagiku cukup pengabdian dan kecintaan kepada Al Musthafa. Karena seseorang bersama orang yang dicintainya.." (As Syihâb Al Khaffâjy, Raihanat Al Alubbâ wa Zahrat Al Hayât Ad Dunyâ, vol. 1, hlm. 42, Maktabah Al Warrâq, tt).

End notes:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar