Sabtu, 14 Agustus 2010

Bagaimana Meneladani Nabi Muhammad Saw. dan Sahabat ra. Dalam berpuasa dan Berhari Raya







Pengertian Shaum/Puasa

Shaum atau puasa secara bahasa bermakna al-imsak atau menahan diri dari sesuatu seperti menahan diri dari makan atau berbicara. Makna shaum seperti ini dipakai dalam ayat ke-26 surat Maryam. “Maka makan dan minumlah kamu, wahai Maryam, dan tenangkanlah hatimu; dan jika kamu bertemu seseorang, maka katakanlah saya sedang berpuasa dan tidak mau berbicara dengan siapapun.”

Sedangkan secara istilah, shaum adalah menahan dari dari dua jalan syahwat, mulut dan kemaluan, dan hal-hal lain yang dapat membatalkan pahala puasa mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari.

Kronologi Sejarah:

Kewajiban ibadah puasa sebenarnya bukan hal baru bagi sejarah umat manusia, sebab selain dalam agama Islam ia pernah disyari`atkan juga pada penganut agama-agama samawi lainnya (Yahudi dan Nasrani), walaupun dari segi tata cara pelaksanaan dan ketentuan waktunya berbeda antara satu ajaran dengan ajaran lainnya, hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam al Qur'an surat al Baqarah ayat:183.

Dalam Islam sendiri, Ibadah puasa mulai diwajibkan pada tahun ke 2 Hijriyah atau 624 Masehi, bersamaan dengan disyari`atkannya sholat ied, zakat fitrah dan kurban idul adha. Hal ini berarti, bahwa puasa adalah sebuah kewajiban yang bersifat universal, berlaku semenjak umat terdahulu, umat muslim saat ini dan masa yang akan datang.

Proses pensyari'atan ibadah puasa dalam Islam, tercatat memiliki tiga fase penting. Pertama : ketika Rasulullah Saw datang ke kota Madinah, puasa diwajibkan dengan cara tiga hari dalam satu bulan. Mekanisme seperti ini dirubah dengan diberlakukannya puasa wajib di bulan Muharram, bentuk ini dianggap sebagai tahap yang kedua. Fase ketiga atau terakhir, yang hingga saat ini dan bahkan sampai seterusnya akan diterapkan, adalah puasa wajib di bulan Ramadhan dengan hitungan satu bulan penuh.
Pada tahap terakhir ini pun kewajiban puasa Ramadhan masih mengalami beberapa perubahan yang tidak prinsipil. Kalau kita menela'ah buku tarikh tasyri' (sejarah penetapan hukum syari'ah), dijelaskan bahwa pada awal diwajibkan puasa Ramadhan, jenis puasa ini masih memiliki "kelonggaran" bagi seorang muslim, yaitu bebas memilih - walaupun dalam kondisi sehat - antara berpuasa atau bersedekah memberi makan kepada fakir miskin sebagai ganti dari berpuasa, kemudian dengan turunnya ayat “barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (Qs. al Baqarah: 185) kebebasan memilih ini ditiadakan.

Rukun Puasa

Niat mengerjakan puasa pada tiap-tiap malam di bulan Ramadhan (puasa wajib) atau hari yang hendak berpuasa (puasa sunat). Waktu berniat adalah mulai daripada terbenamnya matahari sehingga terbit fajar.
Meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sehingga masuk matahari.

Syarat Sah Puasa

1.Islam: tidak sah puasa orang kafir sebelum masuk Islam.
2.Akal: tidak sah puasa orang gila sampai kembali berakal.
3.Tamyiz: tidak sah puasa anak kecil sebelum dapat membedakan (yang balk dengan yang buruk).
4.Tidak haid: tidak sah puasa wanita haid, sebelum berhenti haidnya.
5.Tidak nifas: tidak sah puasa wanita nifas, sebelum suci dari nifas.
6.Niat







Hal-hal yang disunnahkan dalam Puasa Ramadhan
Dalam Sahur terdapat Barakah

Oleh karena itu Rasulullah Saw. memerintahkan dengan perintah yang sangat ditekankan Beliau bersabda : "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu."
Dan bersabda (yang artinya): "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barokah." (HR Bukhori (4/120) Muslim (1095) Dari Anas).
Dari Salman ra. Rasulullah Saw. bersabda : "Barokah ada pada tiga perkara : Jama'ah Tsarid dan makan sahur." (HR. Thabrani dalam "Al-Kabir" (6127) Abu Nu'aim pada "Dzikru Akhbari Ashbahan" (1/57)
Dan dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. bersabda : "Sesungguh Allah menjadikan barakah itu pada makan sahur dan kiloan". (HR. Asy-Syirasy (Al-Alqab) sebagaimana dalam (Jami'as Shaghir) (1715) dan Al-Khatib (Al-Muwaddih) (1/263) dari Abi Hurairah dgn sanad yang lalu. Hadits ini HASAN)
Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah Saw ."Aku masuk menemui Nabi Saw. ketika dia makan sahur beliau berkata : "Sesungguh makan sahur adalah barokah yang Allah berikan pada kalian maka janganlah kalian tinggalkan". (HR Nasa'I (4/145) dan Ahmad (5/270) sanad SHAHIH)

Melambatkan Sahur

Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar karena Nabi Saw. dan Zaid bin Tsabit ra. melakukan sahur ketika selesai makan sahur Nabi Saw. bangkit untuk shalat subuh dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuk shalat kira-kira lama seseorang membaca lima puluh ayat di kitabullah.
Anas ra. meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra. "Kami makan sahur bersama Rasulullah Saw. kemudian beliau shalat aku tanyakan (kata Anas): "Berapa lama jarak antara adzan dan sahur? Beliau menjawab: "Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur'an." (HR. Bukhori (4/118) Muslim (1097).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya (Fathul Bari, 4/166): “Dan yang utama (dari tafsiran “barakah” yang terdapat dalam hadits) sesungguhnya barakah dalam sahur dapat diperoleh dari beberapa segi, yaitu:
a.Mengikuti Sunnah Nabi Saw.
b.Menyelisihi ahli kitab.
c.Menambah kemampuan untuk beribadah.
d.Menambah semangat.
e.Mencegah akhlak yang buruk yang timbul karena pengaruh lapar.
f. Mendorong bersedekah terhadap orang yang meminta pada waktu sahur atau berkumpul bersamanya untuk makan sahur.
g.Merupakan sebab untuk berdzikir dan berdoa pada waktu mustajab.
h.Menjumpai niat puasa bagi orang yang lupa niat puasa sebelum tidur.

Keutamaan Sahur

Dari Abu Said al-Khudri ra. " Sahur itu barakah maka jangan tinggalkan meski hanya dengan seteguk air. Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur." (HR Ahmad hadits hasan, lihat Shahihul Jami’us Shaghir, 1/686 no. 3683).

Dari ‘Amr bin Al-‘Ash ra, sesungguhnya Rasulullah Saw. bersabda: “Yang membedakan antara puasa kami (orang-orang muslim) dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur.” (HR.Muslim dan lainnya)

Meninggalkan perkataan atau perbuatan keji

Dari Abu Hurairah ra. katanya: Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila seseorang daripada kamu sedang berpuasa pada suatu hari, janganlah berbicara tentang perkara yang keji dan kotor. Apabila dia dicaci maki atau diajak berkelahi oleh seseorang, hendaklah dia berkata: Sesungguhnya hari ini aku berpuasa, sesungguhnya hari ini aku berpuasa”(HR. Bukhari-Muslim)

“Dari Abu Hurairah ra. katanya Rasulullah Saw. berabda: “Barang siapa tidak meninggalkan ucapan dusta dan berbuat jahat (padahal dia puasa), maka Allah tidak butuh ia meninggalkan makan dan minum” (HR.Bukhari)

Jika kita berpuasa, tapi kita berkata dusta atau menyakiti orang lain, Sedang makna Puasa itu menahan, maka sia-sialah puasanya.
Memberi makan Orang puasa

Sabda Rasulullah Saw. "Siapa yang memberi makan (saat berbuka) untuk orang yang puasa, maka dia mendapat pahala seperti pahala orang yang diberi makannya itu tanpa dikurangi sedikitpun dari pahalanya." (HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5/192, dari Zaid bin Khalid Al Juhani. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dan dalam Shahih Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah).

Waktu Berbuka

Allah SWT. telah menjelaskan pada kita tentang waktu dibolehkannya seseorang yang berpuasa untuk berbuka yaitu dengan tenggelamnya matahari, sebagaimana firman Allah SWT:
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam.” (Al-Baqarah: 187)

Demikian pula Nabi Muhammad Saw. telah menjelaskan dalam haditsnya:
Dari ‘Umar bin Al-Khaththab ra. berkata:
Rasulullah Saw. bersabda: “Apabila malam telah datang dan siang telah pergi serta matahari telah terbenam maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Al-Imam An-Nawawi berkata: “Makna (sabda Nabi Saw. di atas) adalah puasanya telah selesai dan sempurna, dan (pada waktu matahari sudah tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa. Maka dengan terbenamnya matahari habislah waktu siang dan malam pun tiba, dan malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim, 7/210)

Dari keterangan di atas, dapatlah kita ketahui bahwasanya ketika menjelang malam dan siangpun telah pergi, serta matahari telah tenggelam dengan sempurna, maka itulah saat dibolehkannya bagi kita untuk berbuka puasa.



Menyegerakan Berbuka

Dari Sahl bin sa'ad ra. bahwasanya Rasulullah Saw.pernah bersabda:"Manusia itu tetap berada dalam kebaikan selama mereka mau menyegerakan berbuka puasa" (H.R bukhari (1957) dan Muslim (1098)

Al-Imam Ibnu Daqiq mengatakan: “Dalam hadits ini merupakan bantahan terhadap orang-orang Syi’ah yang mengakhirkan buka puasa hingga tampak bintang-bintang.” (disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, 4/234)

Keutamaan bergegas untuk berbuka ketika telah tiba waktunya

a.Mengikuti Sunnah Rasulullah Saw.
b.Bersegera untuk berbuka ketika telah tiba waktunya merupakan akhlak para Nabi Saw.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Darda’ ra. sesungguhnya Nabi Saw. bersabda:
“Tiga (perkara) termasuk akhlak kenabian (yaitu): mensegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat.” (HR. Ath-Thabrani, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Shahih Jami’us Shaghir, 1/583 no. 3038)

c.Menyelisihi Yahudi dan Nashrani
Mengakhirkan berbuka hingga tampak bintang-bintang merupakan perbuatan Yahudi dan Nashrani (Syarhuth-Thiibi, 5/1584 dan Fathul Bari, 4/234).
Sedangkan kita dilarang menyerupai mereka, oleh karena itu bersegera untuk berbuka puasa ketika telah tiba waktunya termasuk menyelisihi perbuatan mereka.

Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra dari Nabi Saw, beliau bersabda:
“Agama ini senantiasa tampak, selama manusia bersegera untuk berbuka puasa karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkan (ifthar/berbuka).” (Hadits hasan, riwayat Abu Dawud dan lainnya, lihat Shahih Sunan Abi Dawud, 2/58 no. 2353 dan Shahihul Jami’ish Shaghir, 2/1272 no. 7689 dan Al-Misykah, 1/622 no. 1995)

Berbuka dengan buah Kurma, jika tidak ada dengan air

Dari Salmah bin 'Amir ra. Dari Nabi Saw. Bersabda:" Apabila salah seorang diantara kamu berbuka puasa, maka berbukalah dengan kurma, jika tidak ada maka berbukalah dengan air,karena sesungguhnya air itu dapat membersihkan." ( HR. Abu Daud (2355) dan Trimidzi (695) dan ia berkata hadits ini hasan dan shahih).

Membaca doa berbuka puasa

"Dari Ibnu Umar ra, adalah Rasulullah Saw, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : DZAHABAZH ZHAAMA-U WABTALLATIL 'URUQU WA TSABATAL AJRU INSYA ALLAH (artinya : Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan/urat-urat, dan telah tetap ganjaran/pahala, Inysa allah).
(Hadits HASAN, riwayat : Abu Dawud No. 2357, Nasa'i 1/66. Daruquthni dan ia mengatakan sanad hadits ini HASAN. Hakim 1/422 Baihaqy 4/239) Al-Albani menyetujui apa yang dikatakan Daruquthni.!

(Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Rawi-rawi dalam sanad hadits ini semuanya kepercayaan (tsiqah), kecuali Husain bin Waaqid seorang rawi yang tsiqah tapi padanya ada sedikit kelemahan (Tahdzibut-Tahdzib 2/373). Maka tepatlah kalau dikatakan hadits ini HASAN.

Keutamaan Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan benar-benar kesempatan terbaik untuk beramal. Bulan Ramadhan adalah kesempatan menuai pahala melimpah. Banyak amalan yang bisa dilakukan ketika itu agar menuai ganjaran yang luar biasa. Dengan memberi sesuap nasi, secangkir teh, secuil kurma atau snack yang menggiurkan, itu pun bisa menjadi ladang pahala. Maka sudah sepantasnya kesempatan tersebut tidak terlewatkan.

Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah Saw. bersabda, “Penghulunya bulan adalah bulan Ramadhan dan penghulunya hari adalah hari Jum’at.” (HR. Thabrani)


Rasulullah Saw. bersabda, ” Kalau saja manusia tahu apa yang terdapat pada bulan Ramadhan, pastilah mereka berharap Ramadhan itu selama satu tahun.” (HR. Thabrani, Ibnu Khuzaimah, dan Baihaqi)

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila datang bulan puasa, dibuka pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim) tambahan dari riwayat Muslim: "Ditutuplah pintu neraka dan setan-setan dibelenggu ( Sahih Muslim: 1793)

Rasulullah Saw. juga bersabda, “Apabila datang malam pertama bulan Ramadhan, para setan dan jin kafir akan dibelenggu. Semua pintu neraka ditutup sehingga tidak ada satu pintu pun yang terbuka; dan dibuka pintu-pintu surga sehingga tidak ada satu pun yang tertutup. Lalu terdengar suara seruan, “Wahai pencari kebaikan, datanglah! Wahai pencari kejahatan, kurangkanlah. Pada malam itu ada orang-orang yang dibebaskan dari neraka. Dan yang demikian itu terjadi pada setiap malam.” (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Keutamaan Puasa Ramadhan

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan penuh harap, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang shalat malam pada bulan puasa, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (Al- Ahzab : 35)



a. Puasa adalah perisai
Puasa adalah perisai, dengannya seorang hamba terjaga dari api neraka (hadits shahih riwayat Ahmad)

b. Puasa memasukkan ke surga

Dari Abu Umamah ra, ia berkata, aku bertanya Wahai Rasulullah tunjukkan kepadaku suatu amal yang memasukkanku ke surga, Nabi Saw. bersabda : Hendaknya engkau berpuasa, tiada yang menyamainya. (HR. Nasai, ibnu Hibban, dan Hakim dan sanadnya shahih)

c. Orang yang berpuasa mendapatkan pahala tanpa hisab
d. Bagi orang yan berpuasa ada dua kegembiraan
e. Bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah dari bau kasturi
(Dalil A-C-D-E):

Dari Abu Hurairah ra. ia berkata : Rasulullah Saw. Bersabda.' Setiap amal manusia terdapat pahala yang terbatas kecuali puasa, sesungguhnya puasa adalah untuk-Ku dan Aku (Allah) yang membalasnya, dan puasa adalah perisai. Dan pada hari puasa janganlah kalian mengatakan atau melakukan perbuatan keji dan janganlah membuat gaduh, jika salah seorang kalian mencelanya atau membunuhnya maka hendaklah mengatakan : Sesungguhnya aku sedang berpuasa , demi Dzat yang jiwa Muhammad berada ditangannya benar-benar bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah dari bau kasturi, bagi orang yang berpuasa ada dua kegembiraan yang ia gembira dengan keduanya : jika berbuka ia gembira, dan jika bertemu Allah dengan puasanya ia gembira. (Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

Dan dalam riwayat Bukhari :

Ia tinggalkan makanan dan minumannya serta syahwatnya lantaran-Ku, puasa adalah untukku, dan Aku yang akan membalasnya, dan kebaikan itu adalah sepuluh kali lipat semisalnya”.


Dan dalam riwayat Muslim :

Setiap amal manusia dilipatgandakan kebaikannya sepuluh kali lipat semisalnya hingga tujuh ratus kali lipat, Allah berfirman : kecuali puasa sesungguhnya puasa aku yang membalasnya, ia tinggalkan syahwat dan makanannya hanyalah lantaran AKU. Bagi orang yang berpuasa terdapat dua kegembiraan, kegembiraan ketika berbuka puasa, dan kegembiraan ketika bertemu dengan Rabbnya, dan bau mulut orang yang berpuasa lebih harum disisi Allah dari bau kasturi.

f. Puasa dan Al Qur’an akan memberi syafaat

Rasulullah Saw. bersabda :
Puasa dan Al Qur’an akan memberi syafaat bagi seorang hamba pada hari kiamat, berkata puasa : Ya Allah, Engkau telah mencegah orang yang berpuasa dari makanan dan syahwat, maka berikanlah syafaatku padanya, dan berkata Al Qur’an : (Ya Allah) Engkau mencegahnya dari tidur pada malam hari, maka berikanlah syafaatku padanya, Allah berfirman :Keduanya akan diberi syafaat.(HR. Ahmad dan Hakim).

g. Puasa adalah kaffaarah (penghapus dosa)

Dari Hudzaifah bin Yaman ia berkata, Rasulullah Saw. bersabda :Fitnah laki-laki pada keluarganya, hartanya, anaknya, tetangganya, dihapuskan oleh shalat, puasa dan sedekah. (HR. Bukhari dan Muslim)

h. Pintu syurga yang bernama Ar-Rayyan bagi orang yang berpuasa

Dari Sahl ra. Nabi Saw.bersabda :Sesungguhnya dalam syurga terdapat sebuah pintu yang bernama Ar-Rayyan, orang-orang yang berpuasa akan masuk melaluinya pada hariu kiamat, dan selain mereka tidak akan masuk melaluinya.
Dikatakan : Dimanakah orang-orang yang berpuasa? Maka mereka pun berdiri.
Dan selain mereka tidak akan memasukinya .
Maka jika orang-orang yang berpuasa sudah memasukinya ditutuplah pintu itu dan tidak seorangpun akan memasukinya, Dan barangsiapa yang telah masuk ia pasti minum dan barangsiapa yang minum ia tidak akan kehausan selamanya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Hukum Puasa

Puasa Ramadhan wajib dikerjakan setelah terlihatnya hilal, atau setelah bulan Sya'ban genap 30 hari. Puasa Ramadhan wajib dilakukan apabila hilal awal bulan Ramadhan disaksikan seorang yang dipercaya, sedangkan awal bulan-bulan lainnya ditentukan dengan kesaksian dua orang yang dipercaya.

Awal Penetapan Bulan Ramadhan dan Syawal

Sebelumnya telah dijelaskan bahwa satu-satunya cara yang dibenarkan syariat untuk menentukan awal bulan adalah dengan ru’yah inderawi, yaitu melihat hilal dengan menggunakan mata.
Lalu bagaimana dengan adanya perbedaan jarak antara tempat yang satu dengan lainnya, yang berakibat adanya perbedaan tempat dan waktu munculnya hilal? Inilah yang kita kenal dengan ikhtilaf mathali’. Apakah masing-masing daerah berpegang dengan mathla’-nya (waktu munculnya) sendiri ataukah jika terlihat hilal di satu daerah maka semuanya harus mengikuti?
Di sini terjadi perbedaan pendapat. Dua pendapat telah disebutkan dalam pertanyaan di atas dan pendapat ketiga bahwa yang wajib mengikuti ru’yah tersebut adalah daerah yang satu mathla’ dengannya.

Dari ketiga pendapat itu, nampaknya yang paling kuat adalah yang mengatakan bahwa jika hilal di satu daerah terlihat maka seluruh dunia harus mengikutinya. Perbedaan mathla’ adalah sesuatu yang jelas ada dan tidak bisa dipungkiri. Namun yang menjadi masalah, apakah perbedaan tersebut berpengaruh dalam hukum atau tidak? Dan menurut madzhab yang kuat perbedaan tersebut tidak dianggap.
Syaikh ‘Abdul ’Aziz bin ‘Abdullah bin Baz menjelaskan masalah ini ketika ditanya apakah manusia harus berpuasa jika mathla’-nya berbeda?

Beliau menjawab, yang benar adalah bersandar pada ru’yah dan tidak menganggap adanya perbedaan mathla’ karena Nabi Saw. memerintahkan untuk bersandar dengan ru’yah dan tidak merinci pada masalah itu. Nabi Saw. tidak mengisyaratkan kepada perbedaan mathla’ padahal beliau mengetahui hal itu. (Tuhfatul Ikhwan, hal. 163)
Dikisahkan ketika seorang Arab Badui melapor kepada Nabi Saw. bahwa ia menyaksikan hilal, maka Nabi menerimanya padahal ia berasal dari daerah lain dan Nabi juga tidak minta penjelasan apakah mathla’-nya berbeda atau tidak. (Majmu’ Fatawa, 25/103)

"Dari Ibnu Abbas ra. bahwasannya seorang Arab datang kepada Nabi Saw. dan berkata: "Sesungguhnya aku melihat hilal. "Maka Nabi Saw. bertanya, apakah Engkau bersyahadat..... (saya singkat) ia menjawab, "Ya", Kemudian Nabi Saw. Bersabda: " Wahai Bilal umumkanlah kepada manusia agar mereka berpuasa besok pagi." (HR. Lima Perawi dan dianggap shahih oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban, sedangkan An-Nasa'i menilainya Mursal)

Hal ini mirip dengan pengamalan ibadah haji jaman dahulu di mana seorang jamaah haji masih terus berpegang dengan berita para jamaah haji yang datang dari luar tentang adanya ru’yah hilal. Juga seandainya kita buat sebuah batas, maka antara seorang yang berada pada akhir batas suatu daerah dengan orang lain yang berada di akhir batas yang lain, keduanya akan memiliki hukum yang berbeda. Yang satu wajib berpuasa dan yang satu lagi tidak. Padahal tidak ada jarak antara keduanya kecuali seukuran anak panah. Dan yang seperti ini bukan termasuk dari agama Islam. (Majmu’ Fatawa, 25/103-105).

Karena perbedaan mathla’ diabaikan, maka bila hilal terlihat di suatu daerah berarti daerah-daerah lain wajib mengikuti, jika mereka mendapatkan berita tersebut dari sumber yang bisa dipercaya.
Dijelaskan oleh Syaikh Al-Albani bahwa ini adalah madzhab jumhur ulama. Beliau berkata:
“Dan banyak ulama ahli tahqiq (peneliti) telah memilih madzhab jumhur ini, di antara mereka adalah Ibnu Taimiyyah sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa juz 25, Asy-Syaukani dalam Nailul Authar, dan Shiddiq Hasan Khan dalam Ar-Raudhatun Nadiyyah dan selain mereka. Itulah yang benar, tiada yang benar selainnya dan ini tidak bertentangan dengan hadits ‘Abdullah Ibnu ‘Abbas ra. (yang menjelaskan bahwa ketika penduduk Madinah diberitahu bahwa penduduk Syam melihat hilal lebih dulu dari mereka, Ibnu ‘Abbas ra. tetap memakai ru’yah penduduk Madinah sampai puasa 30 hari atau sampai melihat hilal) karena beberapa alasan yang telah disebut oleh Asy-Syaukani. Dan mungkin alasan yang paling kuat adalah bahwa hadits Ibnu ‘Abbas ra. datang dalam perkara orang yang berpuasa sesuai dengan ru’yah yang ada di daerahnya, kemudian di tengah-tengah bulan Ramadhan sampai kepada mereka berita bahwa orang-orang di daerah lain telah melihat hilal sehari sebelumnya. Dalam keadaan ini ia terus melakukan puasa bersama orang-orang di negerinya sampai 30 hari atau mereka melihat hilal sendiri. Dengan pemahaman seperti ini maka hilanglah musykilah (problem) dalam hadits itu. Sedangkan hadits Abu Hurairah ra. yang berbunyi:

“Puasalah kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya.” (Muttafaqun ‘alaihi, lihat takhrijnya dalam Al-Irwa, no. 902)

Dan yang lainnya, berlaku sesuai dengan keumumannya, mencakup semua yang mendapat berita tentang adanya hilal dari negeri atau daerah mana saja tanpa ada pembatas jarak sama sekali, sebagaimana dikatakan Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (25/107).
Pertukaran informasi tentang hilal ini tentu saja bukan hal yang sulit di jaman kita ini. Hanya saja memang dibutuhkan ‘kepedulian’ dari negara-negara Islam sehingga dapat mempersatukan 1 Syawwal, insya Allah .
Dan selama belum bersatunya negeri-negeri Islam, maka saya berpendapat bahwa masyarakat di setiap negara harus puasa bersama negara (pemerintah) dan tidak memisahkan diri sehingga sebagian orang berpuasa bersama pemerintah dan sebagian lain bersama yang lainnya, baik mendahului puasa atau lebih akhir karena yang demikian bisa mempertajam perselisihan dalam masyarakat sebagaimana terjadi pada sebagian negara-negara Arab sejak beberapa tahun lalu.” (Tamamul Minnah, hal. 398)

Bolehkah seseorang atau sekelompok orang menyendiri dari mayoritas masyarakat di negerinya dalam memulai puasa atau mengakhirinya, walaupun berdasarkan ru’yah?

Untuk menjawab masalah ini, sebelumnya kita mesti mengetahui bahwa ketentuan itu (memulai dan mengakhiri puasa) adalah wewenang pemerintah atau pihak yang diserahi masalah ini. Hal itu sebagaimana dikatakan Al-Hasan Al-Bashri dalam masalah pemerintah: “Mereka mengurusi lima urusan kita, shalat Jum’at, shalat jamaah, ‘Id, perbatasan dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka walaupun mereka itu dzalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 7-8).
Hal yang serupa dinyatakan juga oleh As-Sindi dan Al-Albani sebagaimana akan nampak dalam penjelasan yang akan datang. Jadi ini bukan tugas atau urusan individu atau kelompok tapi ini adalah urusan pemerintah. Syaikh Al-Albani menyebutkan sebuah hadits dalam Silsilah As-Shahihah (1/440):

“Puasa adalah hari puasanya kalian, berbuka adalah hari berbukanya kalian dan ‘Iedul Adha adalah hari kalian menyembelih.” (Shahih, HR. At-Tirmidzi dari Abu Hurairah ra, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihah, no. 224)

Beliau melanjutkan menerangkan hadits itu, katanya: ”At-Tirmidzi berkata setelah menyebutkan hadits itu: ‘Sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini, mengatakan bahwa maknanya adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah dan kebanyakan manusia’.”
Ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salam (2/72): “Di dalamnya terdapat dalil agar menganggap ketetapan ‘Id itu bersamaan dengan manusia dan bahwa yang menyendiri dalam mengetahui hari ‘Id dengan melihat hilal maka ia wajib menyesuaikan diri dengan manusia. Dan wajib baginya (mengikuti) hukum mereka dalam hal shalat dan berbuka.”
Ibnul Qayyim menyebutkan hal yang semakna dengannya dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (3/214), katanya: “Dikatakan bahwa di dalam hadits itu ada bantahan atas orang yang mengatakan sesungguhnya orang yang mengetahui terbitnya bulan dengan hisab boleh puasa sendirian di luar mereka yang belum tahu. Dikatakan pula, sesungguhnya satu orang saksi jika melihat hilal dan hakim belum menerima persaksiannya, maka hari tersebut tidak menjadi hari puasa baginya sebagaimana tidak menjadi hari puasa bagi manusia (yang lain).”
Abul Hasan As-Sindi mengatakan dalam Hasyiyah (catatan kaki)-nya terhadap Ibnu Majah setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah ra. riwayat At-Tirmidzi: “Nampaknya perkara-perkara ini tidak ada celah bagi individu-individu untuk masuk di dalamnya. Tidak bisa mereka menyendiri dalam masalah tersebut, bahkan perkara itu diserahkan kepada pemerintah dan jama’ah masyarakat. Dan wajib bagi setiap orang untuk mengikuti pemerintah dan jama’ah masyarakat. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal lalu imam/pemerintah menolak persaksiannya maka mestinya ia tidak menetapkan untuk dirinya sesuatu apapun dari perkara ini dan wajib baginya untuk mengikuti jama’ah masyarakat.”
(Al-Albani) katakan: “Makna inilah yang langsung dipahami dalam hadits, dan itu didukung oleh perbuatan ‘Aisyah ra. yang berhujjah dengannya kepada Masruq ketika ia tidak mau puasa Arafah karena khawatir ternyata itu hari nahr (10 Dzulhijjah, yakni hari raya). Maka ‘Aisyah ra. terangkan bahwa pendapatnya itu tidak bisa dianggap dan wajib baginya mengikuti kebanyakan manusia, lalu ‘Aisyah ra. berkata:

“Hari Nahr adalah ketika orang-orang menyembelih dan ‘Idul Fitri adalah ketika orang-orang berbuka.” (Al-Mushannaf Abdurrazaq, 4/157)
dikatakan oleh (Al-Albani): “Inilah yang cocok bagi syariat yang toleran, yang di antara tujuannya adalah menyatukan manusia dan barisan mereka serta menjauhkan mereka dari pendapat-pendapat pribadi yang menceraiberaikan kesatuan mereka. Syariat tidak menganggap pendapat pribadi walaupun itu benar dari sisi pandangnya dalam ibadah yang sifatnya berjamaah seperti puasa, ‘Idul fitri, dan shalat berjamaah.
Tidakkah engkau melihat bahwa para shahabat shalat di belakang yang lain padahal di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, kemaluan, dan keluarnya darah membatalkan wudhu, dan di antara mereka juga ada yang tidak berpendapat demikian.
Di antara mereka ada yang melakukan shalat 4 rakaat dalam safar dan di antaranya juga ada yang 2 rakaat. Namun demikian perbedaan ini dan yang lain tidak menghalangi mereka untuk bersama-sama dalam melakukan shalat di belakang satu imam dan menganggap shalat itu sah.
Hal itu karena mereka mengetahui bahwa perpecahan dalam agama lebih jelek daripada perbedaan dalam sebagian pendapat. Maka hendaknya mereka memperhatikan hadits ini dan riwayat yang disebutkan. Yaitu mereka yang mengaku-aku mengetahui ilmu falak, yang memulai puasa sendiri dan berbuka sendiri, mendahului atau membelakangi mayoritas muslimin dengan bersandar pada pendapat dan ilmunya tanpa peduli manakala keluar dari jamaah.
Hendaknya mereka semua memperhatikan apa yang kami sebut dari ilmu ini. Barangkali mereka akan mendapatkan obat dari kebodohan dan kesombongan yang menimpa mereka, sehingga mereka menjadi satu shaf bersama kaum muslimin karena sesungguhnya tangan Allah SWT. Bersama jamaah.” (Silsilah Ash-Shahihah, 1/443-445, lihat pula anjuran beliau yang telah disebut dalam Tamamul Minnah hal. 398)

Syaikul Islam Ibnu Tamiyyah ditanya:

Seseorang melihat hilal sendirian dan benar-benar melihatnya, apakah dia boleh berbuka dan berpuasa sendirian atau bersama kebanyakan manusia?
Beliau menjawab:
Alhamdulillah, jika dia melihat hilal maka berpuasa atau berbuka sendirian, apakah ia berkewajiban untuk berpuasa dengan ru’yah-nya dan berbuka dengan ru’yah sendiri, atau tidak puasa serta berbuka kecuali bersama manusia. dalam hal ini ada tiga pendapat dan tiga riwayat dari Al-Imam Ahmad:
1. Dia wajib berpuasa atau berbuka dengan sembunyi-sembunyi, dan ini adalah madzhab Asy-Syafi’i.
2. (Mulai) berpuasa sendiri dan tidak berbuka kecuali kecuali bersama manusia. Dan itu yang masyhur dari pendapat Ahmad, Malik, dan Abu Hanifah.
3. Berpuasa bersama manusia dan berbuka juga bersama manusia.
Yang ketiga adalah pendapat yang paling kuat berdasarkan sabda Nabi Saw.
“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa, berbukanya kalian adalah ketika kalian berbuka dan hari ‘Idul Adha kalian adalah tatkala kalian menyembelih.” riwayat At-Tirmidzi dan beliau katakan hasan gharib, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah, dan ia menyebutkan buka dan ‘Idul Adha saja. (Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 224)

Beliau juga mengatakan, sebagian ahlul ilmi menafsirkan hadits ini dengan perkataan: “Sesungguhnya makna hadits ini adalah berpuasa dan berbuka dilakukan bersama jamaah manusia dan kebanyakan manusia.”
Abu Dawud meriwayatkan dengan sanad lain dari Abu Hurairah ra.:
“Berbukanya kalian adalah hari tatkala kalian berbuka dan Adha kalian adalah hari kalian menyembelih. Semua tanah Arafah adalah tempat wuquf, semua tanah Mina adalah tempat menyembelih, dan semua gang-gang Makkah adalah tempat menyembelih, dan semua tanah jam’ (Muzdalifah) adalah tempat wuquf.” (Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2324)

Asal permasalahan ini yaitu bahwa Allah SWT. mengaitkan hukum-hukum syar’i dengan nama hilal (bulan sabit) dan syahr (bulan) seperti hukum puasa, berbuka, dan menyembelih. Allah berfirman:

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang hilal-hilal. Katakanlah itu untuk manusia dan untuk (ibadah) haji.” (Al-Baqarah: 189)
Allah SWT. Terangkan bahwa itu adalah waktu-waktu bagi manusia dan haji. Allah SWT. Berfirman:

“Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 183-185).

Allah SWT. hanyalah memerintahkan untuk berpuasa bagi yang menyaksikan bulan (waktu/syahr), dan menyaksikan itu tidak bisa dilakukan kecuali pada bulan yang telah terkenal (sebagaimana keterangan makna syahr yang telah lalu) di antara manusia sehingga bisa tergambarkan bagaimana menyaksikannya atau bagaimana tidak menyaksikannya.
Sabda Nabi Saw.:

“Jika kalian melihatnya maka puasalah padanya dan jika kalian melihatnya maka berbukalah padanya dan puasalah dari rembulan kepada rembulan.”
Yang semacam itu adalah pembicaraan yang ditujukan kepada jamaah manusia. Akan tetapi barangsiapa yang berada pada suatu tempat yang tidak ada orang selain dirinya, jika dia melihat hilal maka hendaknya ia berpuasa, karena di sana tidak ada orang selainnya. Atas dasar ini, seandainya ia tidak berpuasa lalu ia mengetahui dengan jelas bahwa hilal dilihat di tempat lain atau diketahui di pertengahan siang, maka ia tidak wajib mengqadha'nya. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Al-Imam Ahmad.


Hilal adalah sebutan untuk sesuatu yang diumumkan dan dikeraskan suara padanya. Maka jika hilal muncul di langit dan manusia tidak mengetahui atau tidak mengumumkannya maka tidak disebut hilal. Demikian pula sebutan syahr diambil dari kata syuhrah (kemasyhuran). Bila tidak masyhur di antara manusia maka berarti bulan belum masuk.
Banyak manusia keliru dalam masalah ini karena sangkaan mereka bahwa jika telah muncul hilal di langit maka malam itu adalah awal bulan, sama saja apakah ini nampak dan masyhur di kalangan manusia dan mereka mengumumkannya ataupun tidak. Padahal tidak seperti itu. Bahkan terlihatnya hilal oleh manusia serta diumumkannya adalah perkara yang harus.

Hal itu disebabkan bahwa yang namanya berbuka adalah hari yang manusia berbuka padanya yaitu hari ‘Id (hari raya) sedang hari yang orang tersebut yang melihat hilal sendiri berpuasa padanya bukanlah merupakan hari raya yang Nabi Saw. melarang manusia untuk berpuasa padanya, karena sesungguhnya beliau Saw. melarang puasa pada hari ‘Idul Fitri dan hari nahr (qurban) (dengan sabdanya): ”Adapun salah satunya adalah hari berbukanya kalian dari puasa. Yang lain adalah hari makannya kalian dari hasil sembelihan kalian.” Maka yang beliau larang untuk berpuasa padanya adalah hari yang kaum muslimin tidak berpuasa padanya. Dan hari yang mereka melakukan penyembelihan padanya, dan ini akan jelas dengan masalah yang kedua. (Ini juga pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Bazz , lihat Fatawa Ramadhan, 1/65 dan Al-Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 398)

Yang penting bahwa jika hilal tidak nampak dan tidak terkenal di mana manusia mencari-carinya (maka awal bulan belum tetap) padahal telah terdapat dalam kitab Ash-Shahih bahwa Nabi Saw. bersabda dalam masalah para imam:
“Mereka itu shalat untuk kalian, jika mereka benar maka (pahala shalat) itu untuk kalian dan untuk mereka, namun jika mereka salah maka untuk kalian pahalanya dan kesalahannya ditanggung mereka.” ( HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra)
@. Maka kesalahan dan penyepeleannya ditanggung imam, tidak ditanggung muslimin yang mereka tidak melakukan peremehan dan tidak salah.
Wallahu a'lam. (Penulis)

1. Ibnul Mundzir menukilkan ijma' bahwa puasa pada tanggal 30 Sya’ban jika hilal belum dilihat padahal udara cerah tidak wajib dengan kesepakatan (ijma') umat. Dan telah shahih dari mayoritas para shahabat dan tabi’in membenci puasa di hari itu. Ibnu Hajar mengatakan: demikian beliau (Ibnul Mundzir) memutlakkan dan tidak merinci antara ahli hisab atau yang lainnya, maka barang siapa yang membedakan antara mereka, dia telah dihujat oleh ijma'. (Fathul Bari, 4/123)

@. Dalam masalah ini penulis tetap berkomitmen dengan penglihatan (Ru'yah), sebagaimana Hadits Shahih sebagai berikut:
“Dari Ibnu Umar ra. “Manusia melihat hilal lalu aku memberitahukan kepada Nabi Saw. Bahwa aku benar-benar melihat hilal. Maka Nabi Saw. Berpuasa dan memerintahkan kepada Manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud dan Di Shahihkan Oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban)

“Dari Ibnu Abbas ra. Bahwasannya seorang Arab datang kepada Nabi Saw. Dan berkata: “ sesungguhnya aku meluhat hilal, “maka Nabi Saw. Bertanya,” Apakah engkau bersyahadat, ia menjawab, “Ya” kemudian Nabi Saw. Bersabda: “Wahai Bilal umumkanlah kepada Manusia agar mereka berpuasa besok pagi. (HR. Lima Perawi dianggap shahih oleh Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah, sedangkan An-Nasa'i menilainya Mursal.)

Bacaan Waktu Berbuka Puasa Dan Kelemahan Hadits Fadlilah Puasa

Di bawah ini akan saya turunkan beberapa hadits tentang dzikir atau do'a di waktu berbuka puasa, kemudian saya akan berusaha sedikit menjelaskan beberapa kelemahan hadits masalah bacaan berbuka puasa. Maka, apa-apa yang telah saya lemahkan (secara ilmu hadits) tidak boleh dipakai atau diamalkan lagi, dan mana yang telah saya nyatakan (shahih atau hasan) bolehlah saudara-saudara amalkan. Kemudian saya iringi dengan tambahan keterangan tentang kelemahan beberapa hadits lemah tentang keutamaan puasa yang sering dibacakan di mimbar-mimbar khususnya di bulan Ramadhan.

Hadits Pertama

"Dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adalah Nabi Saw. apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Shumna wa ala Rizqika Aftharna, Allahumma Taqabbal Minna Innaka Antas Samiul 'Alim (artinya : Ya Allah ! untuk-Mu aku berpuasa dan atas rizkqi dari-Mu kami berbuka. Ya Allah ! Terimalah amal-amal kami, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Maha Mengetahui).
(Riwayat : Daruqutni di kitab Sunannya, Ibnu Sunni di kitabnya 'Amal Yaum wa-Lailah No. 473. Thabrani di kitabnya Mu'jamul Kabir).
Sanad hadits ini sangat Lemah/Dhoif
Pertama :
Ada seorang rawi yang bernama : Abdul Malik bin Harun bin 'Antarah. Dia ini rawi yang sangat lemah.
1. Kata Imam Ahmad bin Hambal : Abdul Malik Dho'if
2. Kata Imam Yahya : Kadzdzab (pendusta)
3. Kata Imam Ibnu Hibban : pemalsu hadits
4. Kata Imam Dzahabi : di dituduh pemalsu hadits
5. Kata Imam Abu Hatim : Matruk (orang yang ditinggalkan riwayatnya)
6. Kata Imam Sa'dy : Dajjal, pendusta.
Kedua :
Di sanad hadits ini juga ada bapaknya Abdul Malik yaitu : Harun bin 'Antarah. Dia ini rawi yang diperselisihkan oleh para ulama ahli hadits. Imam Daruquthni telah melemahkannya. Sedangkan Imam Ibnu Hibban telah berkata : munkarul hadits (orang yang diingkari haditsnya), sama sekali tidak boleh berhujjah dengannya.
Hadits ini telah dilemahkan oleh Imam Ibnul Qoyyim, Ibnu Hajar, Al-Haitsami dan Al-Albani, dll.
Periksalah kitab-kitab berikut :
1. Mizanul I'tidal 2/666
2. Majmau Zawaid 3/156 oleh Imam Haitsami
3. Zaadul Ma'ad di kitab Shiam/Puasa oleh Imam Ibnul Qoyyim
4. Irwaul Gholil 4/36-39 oleh Muhaddist Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Hadits Kedua

"Dari Anas, ia berkata : Adalah Nabi Saw : Apabila berbuka beliau mengucapkan : Bismillah, Allahumma Laka Shumtu Wa Alla Rizqika Aftartu (artinya : Dengan nama Allah, Ya Allah karena-Mu aku berbuka puasa dan atas rizqi dari-Mu aku berbuka).
(Riwayat : Thabrani di kitabnya Mu'jam Shogir hal 189 dan Mu'jam Ausath).
Sanad hadits ini Lemah/Dho'if
Pertama :
Di sanad hadist ini ada Ismail bin Amr Al-Bajaly. Dia seorang rawi yang lemah.
1. Imam Dzahabi mengatakan di kitabnya Adl-Dhu'afa : Bukan hanya satu orang saja yang telah melemahkannya.
2. Kata Imam Ibnu 'Ady : Ia menceritakan hadits-hadits yang tidak boleh diturut.
3. Kata Imam Abu Hatim dan Daruquthni : Lemah !

Kedua :
Di sanad ini juga ada Dawud bin Az-Zibriqaan.
1. Kata Muhammad Nashiruddin Al-Albani : Dia ini lebih jelek dari Ismail bin Amr Al-Bajaly.
2. Kata Imam Abu Dawud, Abu Zur'ah dan Ibnu Hajar : Matruk.
3. Kata Imam Ibnu 'Ady : Umumnya apa yang ia riwayatkan tidak boleh diturut (lihat Mizanul I'tidal 2/7)

Hadits Ketiga

"Dari Muadz bin Zuhrah, bahwasanya telah sampai kepadanya, sesungguhnya Nabi Saw. Apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : Allahumma Laka Sumtu wa 'Alaa Rizqika Aftartu."
(Riwayat : Abu Dawud No. 2358, Baihaqi 4/239, Ibnu Abi Syaibah dan Ibnu Suni) Lafadz dan arti bacaan di hadits ini sama dengan riwayat/hadits yang kedua kecuali awalnya tidak pakai Bismillah.)
Dan sanad hadits ini mempunyai dua penyakit.


Pertama :

"MURSAL, karena Mu'adz bin (Abi) Zuhrah seorang Tabi'in bukan shahabat Nabi Saw. (hadits Mursal adalah : seorang tabi'in meriwayatkan langsung dari Nabi Saw, tanpa perantara shahabat).
Kedua :
"Selain itu, Mu'adz bin Abi Zuhrah ini seorang rawi yang Majhul. Tidak ada yang meriwayatkan dari padanya kecuali Hushain bin Abdurrahman. Sedang Ibnu Abi Hatim di kitabnya Jarh wat Ta'dil tidak menerangkan tentang celaan dan pujian baginya".

Hadits Keempat

"Dari Ibnu Umar ra, adalah Rasulullah Saw, apabila berbuka (puasa) beliau mengucapkan : DZAHABAZH ZHAAMA-U WABTALLATIL 'URUQU WA TSABATAL AJRU INSYA ALLAH (artinya : Telah hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan/urat-urat, dan telah tetap ganjaran/pahala, Inysa allah).
(Hadits HASAN, riwayat : Abu Dawud No. 2357, Nasa'i 1/66. Daruquthni dan ia mengatakan sanad hadits ini HASAN. Hakim 1/422 Baihaqy 4/239) Al-Albani menyetujui apa yang dikatakan Daruquthni.!
Saya (Abdul Hakim bin Amir Abdat) berpandangan : Rawi-rawi dalam sanad hadits ini semuanya kepercayaan (tsiqah), kecuali Husain bin Waaqid seorang rawi yang tsiqah tapi padanya ada sedikit kelemahan (Tahdzibut-Tahdzib 2/373). Maka tepatlah kalau dikatakan hadits ini HASAN.

KESIMPULAN
@. Mengenai pandangan Hadits tersebut dapat saya (Penulis) katakan:
• Hadits yang ke 1,2 dan 3 karena tidak syah (sangat dloif dan dloif) maka tidak boleh lagi diamalkan.
• Sedangkan hadits yang ke 4 karena riwayatnya telah syah maka bolehlah kita
amalkan jika kita suka (karena hukumnya sunnah saja).



Beberapa Hadits Lemah Tantang Keutamaan Puasa
Hadits Pertama

"Awal bulan Ramadhan merupakan rahmat, sedang pertengahannya merupakan magfhiroh ampunan, dan akhirnya merupakan pembebasan dari api neraka".
(Riwayat : Ibnu Abi Dunya, Ibnu Asakir, Dailami dll. dari jalan Abu Hurairah).
Derajad hadits ini : DHO'IFUN JIDDAN (sangat lemah).
Periksalah kitab : Dho'if Jamius Shagir no. 2134, Faidhul Qodir No. 2815.
Dan saya (Penulis) Menambahkan Lihat Shilsilah Hadits Doif dan Maudhu'. Muhammad Nashiruddin Al-Albani

Hadits Kedua

"Dari Salman Al-Farisi, ia berkata : Rasulullah Saw. Pernah berkhotbah kepada kami di hari terakhir bulan Sya'ban. Beliau bersabda : "Wahai manusia ! Sesungguhnya akan menaungi kamu satu bulan yang agung penuh berkah, bulan yang didalamnya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan, bulan yang Allah telah jadikan puasanya sebagai suatu kewajiban dan shalat malamnya sunat, barang siapa yang beribadat di bulan itu dengan satu cabang kebaikan, adalah dia seperti orang yang menunaikan kewajiban di bulan lainnya, dan barangsiapa yang menunaikan kewajiban di bulan itu adalah dia seperti orang yang menunaikan tujuh puluh kewajiban di bulan lainnya, dia itulah bulan sabar, sedangkan kesabaran itu ganjarannya sorga.... dan dia bulan yang awalnya rahmat, dan tengahnya magfiroh (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api neraka..." (HR.Ibnu Khuzaimah No. hadits 1887 dll). Sanad Hadits ini Dhoif.

Karena ada seorang rawi bernama : Ali bin Zaid bin Jud'an. Dia ini rawi yang lemah sebagaimana diterangkan oleh Imam Ahmad, Yahya, Bukhari, Daruqhutni, Abi Hatim, dll. Dan Imam Ibnu Khuzaimah sendiri berkata : Aku tidak berhujah dengannya karena jelek hafalannya, Imam Abu Hatim mengatakan : Hadits ini Munkar !!
@. Periksalah kitab : Silsilah hadits Dhoif wa Maudhu' No. 871, At-Targhib wat Tarhib jilid 2 halaman 94, Mizanul I'tidal jilid 3 halaman 127.


Hadits Ketiga

"Orang yang berpuasa itu tetap di dalam ibadat meskipun ia tidur di atas kasurnya". (Riwayat : amam). Sanad Hadits ini Dho'if.

Karena di sanadnya ada : Yahya bin Abdullah bin Zujaaj dan Muhammad bin Harun bin Muhammad bin Bakkar bin Hilal. Kedua orang ini gelap keadaannnya karena kita tidak jumpai keterangan tentang keduanya di kitab-kitab Jarh Wat-Ta'dil (yaitu kitab yang menerangkan cacat/cela dan pujian tiap-tiap rawi hadits). Selain itu di sanad hadits ini juga ada Hasyim bin Abi Hurairah Al-Himsi seorang rawi yang Majhul (tidak dikenal keadaannya dirinya). Sebagaimana diterangkan Imam Dzahabi di kitabnya Mizanul I'tidal, dan Imam 'Uqail berkata : Munkarul Hadits !
Kemudian hadits yang semakna dengan ini juga diriwayatkan oleh Dailami di kitabnya Musnad Firdaus dari jalan Anas bin Malik yang lafadnya sebagai berikut :

"Orang yang berpuasa itu tetap di dalam ibadat meskipun ia tidur diatas kasurnya".
Sanad hadits ini Maudlu'/Palsu
Karena ada seorang rawi yang bernama Muhammad bin Ahmad bin Suhail, dia ini seorang yang tukang pemalsu hadits, demikian diterangkan Imam Dzahabi di kitabnya Adh-Dhuafa.
@. Periksalah kitab : Silsilah hadist Dhoif wal Maudhu' No. 653, Faidhul Qodir No. hadits 5125. (Muhammad Nashiruddin Al-Albani)

Hadits Keempat

"Tidurnya orang yang berpuasa itu dianggap ibadah, dan diamnya merupakan tasbih, dan amalnya (diganjari) berlipat ganda, dan do'anya mustajab, sedang dosanya diampuni".
(HR. Baihaqi di kitabnya Su'abul Iman, dari jalan Abdullah bin Abi Aufa).
Hadits ini derajadnya sangat Dho'if atau Maudhu.
Di sanadnya ada Sulaiman bin Umar An-Nakha'i, salah seorang pendusta (baca : Faidhul Qodir No. 9293).


Hadits Kelima

"Puasa itu setengah dari pada sabar" (HR. Ibnu Majah).
Kata Imam Ibnu Al-Arabi : Hadits (ini) sangat lemah:

Hadits Keenam

"Puasa itu setengah dari pada sabar, dan atas tiap-tiap sesuatu itu ada zakatnya, sedang zakat badan itu ialah puasa".
(HR. Baihaqi di kitabnya Su'abul Iman dari jalan Abu Hurairah).

Hadits ini sangat lemah !
1. Ada Muhammad bin ya'kub, Dia mempunyai riwayat-riwayat yang munkar. Demikian diterangkan oleh Imam Dzahabi di kitabnya Adh-Dhuafa.
2. Ada Musa bin 'Ubaid. Ulama ahli hadits. Imam Ahmad berkata : Tidak boleh diterima riwayat dari padanya (baca : Faidhul Qodir no. 5201).
Itulah beberapa hadits lemah tentang keutamaan puasa dan bulannya. Selain itu masih banyak lagi hadits-hadits lemah tentang bab ini. Hadits-hadits di atas sering kali kita dengar dibacakan di mimbar-mimbar khususnya pada bulan Ramadhan oleh para penceramah.

Kajian Seputar Puasa Ramadhan
1. Hukum berpuasa bagi musafir

Allah SWT. berfirman, "Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka wajiblah baginya berpuasam sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." (Q.S. Al Baqarah: 184).
Dari Aisyah ra. Bahwa Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Nabi saw, "Apakah aku berpuasa dalam keadaan safar?" dan beliau adalah orang yang sering melakukan shaum Rasulullah Saw. menjawab, "Jika engkau berkehendak maka shaumlah, jika tidak maka berbukalah." (HR. Bukhari dan Muslim).


@. Hadits ini menunjukkan bolehnya shaum dan berbuka , jika shaumnya itu tidak memberatkan dirinya maka hal itu boleh dilakukan.
Dari Anas bin Malik ra., ia berkata, "Kami bepergian bersama Nabi Saw. Yang berpuasa tidak mencela kepada yang berbuka, demikian pula sebaliknya yang berbuka tidak mencela kepada yang berpuasa." (HR. Al Bukhari dan Muslim).

@. Hadits ini lebih dekat pendalilannya atas kebolehan shaum Ramadhan dalam keadaan safar. Tetapi bagi mereka yang berbuka hendaknya tidak dengan terang-terangan, sehingga tidak menimbulkan cela bagi saudara yang melaksanakan shaum.)
Dari Abu Darda ra, ia berkata, "Kami keluar bersama Rasulullah Saw. di bulan Ramadhan dalam keadaan cuaca sangat panas, sampai-sampai seseorang di antara kami ada yang meletakkan tangannya di atas kepalanya karena saking panasnya. Tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah saw dan Abdullah bin Rawahah." (HR. Bukhari dan Muslim).

@. Hadits ini dalil bolehnya berbuka dan bolehnya shum di bulan Ramadhan. Tetapi untuk zaman saat ini susah seseorang dikatakan dalam keadaan safar, sebab dengan kemajuan transportasi akan mempermudah kita yang hendak melakukan perjalanan jauh dengan waktu tempuh yang singkat, pada intinya saya berpendapat, bagi seorang yang hendak melakukan perjalanan jauh, itu tidak harus membatalkan puasanya di dalam negerinya sendiri. (Allah lah Yang lebih tahu)

2. Hukum Puasa bagi wanita haid dan nifas

wanita yang mengalami haid dan nifas mereka ini tidak boleh malaksanakan ibadah puasa, mereka wajib mengganti puasa yang ditinggalkan selama haid dan nifas, sebagaimana Hadits Nabi Saw.:
Dari ‘Aisyah ra : “Kami mengalami haid di masa Rasulullah Saw. Maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (Shahih, Jami'us Saghir. Muhammad Nashiruddin Al-Albani no. 3514)
Dari Abu Sa’id al Khudry ra, bahwasanya Nabi Saw. Bersabda: “Bukankah wanita itu jika sedang haid dia tidak sholat dan tidak berpuasa? Itulah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari).
3. Hukum berbekam saat puasa

Bagi seorang muslim yang melaksanakan ibadah Puasa tidak ada larangan untuk berbekam, jadi menurut penelitian saya dari beberapa hadits Nabi Saw. Yang shahih berbekam itu tidak membatalkan puasa.
Dari Al Hasan dari beberapa sahabat secara marfu’ (sampai pada Nabi Saw). Beliau berkata, “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya.” [Hadits ini juga dikeluarkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad-Darimi. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no. 931 mengatakan bahwa hadits ini shahih] ,
@. Dalam pandangan saya hadits ini Mansukh (terhapus) oleh hadits Ibnu Abbas.

Dari Ibnu ‘Abbas ra. berkata bahwa Nabi Saw. berbekam dalam keadaan berihram dan berpuasa. (HR. Muslim) dalam salah satu jalur sanad syaddad dijelaskan bahwa hadits itu diucapkan pada tahun 8H. ketika terjadi pembukaan kota Makkah, sedang Ibnu Abbas ra. Menemani Nabi dalam keadaan Ihram pada saat haji wada' tahun 10H. (lihat pengantar studi ilmu hadits. Syaikh Manna' Al-Qaththan).

4. Hukum memakai Celak saat Puasa

Celak mata tidak membatalkan puasa seseorang menurut pendapat yang paling benar di antara dua pendapat ulama, akan tetapi memakainya pada malam hari lebih utama bagi orang yang sedang berpuasa. Adapun dalil-dalil masalah ini tidak ada yang otentik semuanya dho'if.
“Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi Saw. Bercelak pada bulan ramadhan dalam keadaan berpuasa.” (HR. Ibnu Majah)*)
* Imam Nawawi berkata: Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan Isnad yang dho'if dari periwayatan Baqiyah, yang mendapatkannya dari Sa'id bin Abi Sa'id, sedang Sa'id ini dho'if. Imam Nawawi menambahkan: Para penghafal Hadits (Hafizh) telah sepakat bahwa periwayatan Baqiyah dari dua orang yang Majhul itu tidak bisa diterima.
Namun demikian menurut Al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, sa'id bin Abi Sa'id itu tidak majhul, dia dho'if. Nama asli Ayahnya Abdul Jabbar, demikian menurut berita yang benar. Sehingga dalam masalah ini tidaklah mengapa seorang yang berpuasa memakai celak, tetapi alangkah baikanya jika dilakukan saat hendak tidur.
5. Hukum mencicipi rasa makanan yang dibeli atau dimasak

Dalam hal ini Ibnu Abbas membolehkan bagi seorang yang mencicipi rasa makanan yang dibeli atau dimasaknya, jika tidak sampai tertalah hal tersebut tidaklah mengapa, para ulama sendiri dalam masalah ini tidak ada yang berselisih pendapat.
Ibnu Abbas berkata:” Tak apa bagi wanita yangingin mencicipi rasa cuka atau apa saja yang akan dibeli. (lihat Fiqh Wanita. Ibrahim Muhammad Al-Jamal)

6. Hukum bagi wanita yang lanjut usia

Wanita yang sudah usianya lanjut mereka ini boleh tidak melakukan puasa, apabila ia masih kuat menjalankannya, maka hal itupun boleh juga dilakukannya, sebab dalam hal ini ada keringanan bagi wanita lanjut usia, tetapi dia memberi makan fakir miskin setiap hari. Sebagaimana firman Allah SWT. Dan orang-orang yang tidak mampu berpuasa hendak membayar fidyah, dengan memberi makan seorang miskin” Al-Baqarah : 184
Dari Ibnu Abbas yang menegaskan bahwa ayat ini tidak mansukh dan ini berlaku bagi laki-laki dan wanita yang sudah tua dan bagi orang yang tidak mampu berpuasa, maka hendak mereka memberi makan setiap hari seorang miskin. (HR.Bukhari 8/135)
Oleh karena itu Ibnu Abbas ra. dianggap menyelisihi jumhur sahabat atau pendapat saling bertentangan, lebih khusus lagi jika engkau mengetahui bahwasa beliau menegaskan ada mansukh. Dalam riwayat lain (disebutkan).

Allah menetapkan puasa bagi orang mukim yang sehat, dan memberi rukhsah bagi orang yang sakit dan musafir dan menetapkan fidyah bagi orang tua yang tidak mampu berpuasa, inilah keadaan kedua ….” (Hadits Riwayat Abu Dawud dalam Sunan 507, Al-Baihaqi dalam Sunan 4/200, Ahmad dalam Musnad 5/246-247 dan sanad Shahih

@. Jadi dalam pandangan saya hadits itu mansukh bagi seorang yang masih sehat dan mampu malaksanakan puasa, dan tidak mansukh bagi seseorang yang lanjut usia dan tidak mampu melakukan puasa, sehingga mereka wajib membayar fidyah. Dengan memberi makan fakir miskin setiap hari.
·

7. Hukum bagi wanita hamil dan menyusui

Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih misalnya takut kurangnya susu karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak berpuasa, dan hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.
Dari Anas bin Malik al-Ka'bi. bersabda Nabi Saw.
“Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan menyusui.”(HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad 4/347. Tirmidzi mengatakan Hasan. Dan Syaikh Al -Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)

@. Adapun masalah hukum apakah seorang yang mengalami hal ini itu wajib mengqadha' puasanya atau membayar fidyah. Pandangan saya dalam hal ini mereka hanya wajib mengqadha' puasa selama mereka tinggalkan dan tidak wajib memberi makan setiap hari kepada fakir miskin, sebab hal ini saya samakan dengan orang yang mengalami Haid/ perjalanan hukumnya. Insya Allah

8. Hukum berciuman saat puasa

Dalam pandangan islam tidak ada larangan berciuman saat puasa, sebab hal ini juga di lakukan oleh Nabi Saw. Adapun bagi mereka yang tidak bisa mengendalikan syahwatnya hendaknya menjaga dan mengendalikan nafsunya yang bergejolak dalam hatinya.

“Dari Ummu Salamah ra. Bahwa Nabi Saw. Pernah mencium-nya dalam keadaan berpuasa.” (Mutafaqun 'alaihi)

Aisyah ra., ia berkata:
Adalah Rasulullah Saw. mencium salah seorang istri beliau dan beliau sedang berpuasa lalu istrinya tersenyum. (Shahih Muslim No.1851)

Umar bin Abu Salamah ra.:
1.
Bahwa ia bertanya kepada Rasulullah Saw.: Bolehkah orang yang sedang berpuasa itu berciuman (dengan istrinya)? Rasulullah Saw. menjawab: Tanyakan saja kepada Ummu Salamah. Kemudian ia (Ummu Salamah) memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah Saw. melakukannya. Umar bin Abu Salamah lalu berkata: Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni dosa baginda yang lalu dan yang akan datang? Rasulullah Saw. bersabda padanya: Demi Allah, sesungguhnya aku adalah orang yang paling takwa kepada Allah dari kalian. (Shahih Muslim No.1863)
2.
@. Sebagai seorang Nabi yang terjaga dari dosa, tentunya hal itu sebuah spesifik bagi Nabi, sebab Beliau adalah salah seorang yang mampu mengendalikan Nafsunya ketika bergejolak.
Meninggalkan perbuatan ini lebih baik dalam pandangan saya, sebab kondisi keimanan manusia naik turun, untuk mengantisipasi hal yang membatalkan puasa, maka alangkah baiknya jika hal tersebut dilakukan dimalam hari, sebab saya kira waktu malam itu cukup panjang jika salah seorang hendak mubasyarah dan berciuman terhadap isrtinya. Allahlah yang lebih berhak tahu.

9. Hukum berkumur saat berpuasa

Tidaklah mengapa seorang yang berpuasa berkumur, jika hendak melakukan shalat, sebagaimana Hadits Dari Umar ra. Maka sabda Rasulullah Saw.:” Bagaimana pendapatmu bila kamu berkumur dengan air sedang kamu berpuasa?”, “itu tidak mengapa,” jawabku. “ maka apa lagi yang kau tanyakan?” kata rasul pula. (HR. Abu Daud, Ahmad dan Nasa'i . oleh Ibnu Khuzaimah, iIbnu Hibban dan Al-Hakim Isnad Hadits ini Shahih).


@. Sedang berkumur itu permulaan dan pengantar minum, maka tidaklah menjadi masalah dalam hal ini.



10. Membayarkan tanggungan puasa orang yang telah meninggal

Hadis riwayat Aisyah ra.:
Bahwa Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang meninggal dunia dan ia mempunyai tanggungan puasa, maka walinya harus berpuasa untuk membayar tangungannya. (Shahih Muslim No.1935)

Hadis riwayat Ibnu Abbas ra.:
Bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw. dan berkata: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan ia mempunyai tanggungan puasa sebulan. Beliau bertanya: Apa pendapatmu jika ibumu mempunyai utang kepada orang lain, apakah engkau akan membayarnya? Ia menjawab: Ya (aku akan bayar). Beliau bersabda: Utang kepada Allah adalah lebih berhak untuk dibayar. (Shahih Muslim No.1936)
@. Bagi seorang wali mereka wajib meneruskan puasa yang pernah ditinggalkannya semasa hidup di dunia, dengan demikian beban tanggung jawab si mayat dihadapan Allah SWT. bisa ringan.

11. Hukum makan minum karena lupa

Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa lupa bahwa ia sedang berpuasa, sehingga ia makan atau minum, maka hendaklah ia meneruskan puasanya, karena sesungguhnya ia telah diberi makan dan minum oleh Allah. (Shahih Muslim No.1952)

@. Adapun minum atau makan karena lupa itu bukanlah kesalahan kita, sebab Allah hendak memberi rejeki yang berupa makanan dan minuman, sehingga kita sadar bahwasannya kita sedang berpuasa maka, hal itu hendaknya dihentikan dan meneruskan puasanya, tanpa mengqadha' puasa disebabkan kekhilafannya tadi.

12. Hukum puasa orang yang masih junub pada waktu fajar

Aisyah ra. dan Ummu Salamah ra. berkata:
Rasulullah Saw. pernah bangun pagi hari dalam keadaan junub bukan karena mimpi kemudian beliau terus berpuasa. (Shahih Muslim No.1864).

@. Seseorang yang sedang junub itu diwajibkan untuk mandi ketika hendak melaksanakan shalat, tetapi dalam hal ini tidaklah mengapa , dia tetap harus menjalankan puasa di pagi harinya, akan tetapi jika dia bangunnya pada saat fajar hendaknya dia mandi dan melanjutkan puasanya.

13. Hukum Muntah saat berpuasa

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Siapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib mengqadha'' puasanya. Sedangkan siapa yang sengaja muntah, maka wajib mengqadha'' puasanya." (HR. Lima Perawi)

@. Adapun muntahnya itu karena ketersengajaan maka puasanya itu batal, apabila muntahnya itu tidak disengaja maka tidaklah membatalkan puasanya. Hal yang menyebabkan orang tersebut itu muntah misalnya ketia ia menaiki kendaraan dan mabuk kemudian muntah, maka hal ini tidaklah membatalkan puasa. Insya Allah.

Amalan Di Bulan Ramadhan

Pengertian Shalat Tarawih

Kata tarawih adalah bentuk jamak dari kata tarwih, yang artinya "mengambil istirahat". Shalat ini disebut shalat tarawih, karena orang yang menjalankan shalat ini mengambil istirahat sejenak setelah selesai shalat sunnah ba'da isya dua rakaat. Shalat tarawih ini terdiri dari delapan rakaat, dibagi menjadi empat, masing-masing dua rakaat, kemudian dengan tiga rakaat shalat witir.


Sebenarnya shalat tarawih yang dilakukan di bulan Ramadhan merupakan shalat tahajjud yang dilaksanakan pada bulan-bulan biasa. Dengan kata lain, shalat tahajjud yang dilaksanakan dalam bulan Ramadhan itulah yang akhirnya menjelma menjadi shalat tarawih sekarang ini.


Shalat tarawih adalah shalat yang dikerjakan di malam bulan ramadhan yang dapat dikerjakan secara sendiri-sendiri atau berjamaah bersama-sama. Waktu pelaksanaan shalat tarawih adalah setelah pelaksanaan shalat isya sampai dengan terbit fajar shubuh.
Shalat Tarawih bagi umat Islam Indonesia sudah tidak asing lagi. Hampir setiap muslim pernah menjalankannya. Pada awal Ramadhan, biasanya masjid penuh dengan kaum muslimin dan muslimat yang menjalankan shalat jama’ah isya` sekaligus tarawih. Ada yang menjalankan 8 rakaat, dan ada yang 20 rakaat. Yang terakhir ini termasuk ciri orang NU (Nadhiyyin). Sedang shalat Witir yang diletakkan di akhir biasanya sarna-sarna 3 rakaat, orang NU maupun bukan. 20 rakaat itu serempak dilaksanakan dengan cara dua rakaat salam.

Disini kami akan mencoba membahas masalah ini, apakah dalil-dalil jumlah rakaat shalat tarawih itu dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya. Ataukan sebaliknya hadits tersebut isnadnya lemah. sebelum itu izinkan saya menjelaskan tempat an waktu melaksanakan Shalat tarawih dan bagaimana hukum shalat tarawih itu sendiri dalam islam

Shalat Tarawih secara Berjama'ah

Shalat terawih itu sendiri sering dilakukan oleh umat muslimin setelah melaksanakan shalat isya'. Adapun bagaimana tempat dan waktunya saya akan sedikit menjelaskan dibawah dengan dalil-dalil yang mendukung adanya shalat tarawih secara berjama'ah.

A. Taqrir (Penetapan) Nabi Saw, sebagaimana riwayat Tsa’labah bin Abi Malik ra , ia berkata :
“Telah keluar Rasulullah Saw, suatu malam di bulan Ramadhan, maka beliau melihat orang-orang shalat di tepi masjid, sabdanya : Apa yang mereka lakukan ? Salah seorang berkata : Ya Rasulullah ! Mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat membaca Al-Qur’an dan Ubai bin Ka’ab membacakannya, dan mereka shalat berjama’ah dengannya. Maka sabdanya : Mereka telah mengerjakan yang baik atau telah benar mereka. Dan beliau tidak menampakkan kebencian terhadap mereka tersebut”.

(HR. Baihaqi dalam sunannya II : 495 ia berkata Hadits ini MURSAL HASAN.)
Penjelasan :
Hadits ini telah diriwayatkan dengan (Marfu' atau Maushul) melalui jalan lain dari Abu Hurairah ra. dalam kitab Al-Mutabaat Was Syawahid, sanadnya LA BA’SA BIHI
Dikeluarkan oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamul-Lail, hal.90 Abu Dawud I : 217 dan Baihaqi.

B. Fi'il beliau sendiri. Tentang ini terdapat beberapa hadits.

1. Dari Nu’man bin Basyir ia berkata :
“ Kami pernah shalat bersama Rasulullah Saw. pada malam ke 23 di bulan Ramadhan hingga sepertiga malam yang pertama, kemudian kami shalat lagi bersamanya pada malam ke 25 hingga pertengahan malam, kemudian beliau mengimami kami pada malam ke 27 hingga kami mengira, kami tidak akan mendapatkan waktu “FALAAH”. Ia berkata : Kami menyebut “SAHUR” dengan sebutan falaah”.
(HR. Ibnu ‘Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf II : 90/2, Ibnu Nashr halaman 89, Nasaa’i I : 238, Ahmad IV : 272, Faryabi dalam Kitab Shaum I/73 - II/72. Sanadnya Shahih dan dishahkan oleh Hakim)

(Hakim) berkata : Hadits ini merupakan dalil yang terang bahwa Shalat Tarawih di masjid-masjid kaum Muslimin adalah SUNNAH , dan adalah Ali bin Abi Thalib menganjurkan Umar bin Khattab ra. untuk melestarikan sunnah ini. Al-Mustadrak I : 440.

2. Dari Anas ra. ia berkata :
“ Adalah Rasulullah Saw, shalat di bulan Ramadhan, kemudian aku datang dan aku berdiri di sampingnya, kemudian datang yang lain, kemudian yang lain lagi, sehingga waktu itu kami menjadi kelompok . Ketika Rasulullah Saw. merasa bahwasanya kami berada di belakangnya, beliau meringkas shalatnya, kemudian masuk rumahnya. Ketika beliau masuk rumahnya, beliau mengerjakan shalat yang tidak dikerjakannya bersama kami. Ketika kami masuk waktu pagi, kami bertanya : Ya Rasulullah ! Apakah engkau tidak mengetahui kami tadi malam ?. Beliau menjawab : Ya, justru itulah yang mendorongku untuk melakukan apa yang aku perbuat”.
(Diriwayatkan oleh Ahmad III : 199, 212 dan 291, juga Ibnu Nashr halaman 89, keduanya dengan sanad yang Shahih. Demikian juga Thabrani meriwayatkan hadits ini dalam Al-Aushath dan Al-Jam’u III : 173)
3. Dari ‘Aisyah ra. ia berkata :
“Artinya : Pernah orang-orang shalat di masjid Rasulullah Saw, pada bulan Ramadhan dengan sendiri-sendiri, orang-orang itu mempunyai sedikit hafalan Al-Qur’an, lalu ada kurang lebih lima atau enam orang, atau lebih sedikit atau lebih banyak dari jumlah itu yang mengikuti shalatnya Nabi Saw. : Kemudian Rasulullah Saw, menyuruh aku mendirikan tikar di pintu kamarku, lalu aku kerjakan. Kemudian Ia keluar ke pintu sesudah shalat Isya’ yang terakhir. Ia berkata : Lalu orang-orang yang di masjid mengerumuni beliau, lalu Rasulullah Saw, shalat bersama mereka, shalat malam yang panjang, kemudian beliau berpaling dan masuk , beliau tinggalkan tikar itu sebagaimana adanya. Ketika pagi hari orang-orang memperbincangkan shalatnya Rasulullah Saw. bersama mereka yang di masjid pada malam itu. orang-orang berkumpul lebih banyak lagi sehingga masjid menjadi penuh sesak. Rasulullah Saw. keluar pada malam yang kedua, maka orang-orang shalat mengikuti shalatnya. Pada pagi harinya orang-orang menceritakan kejadian itu, sehingga bertambah banyaklah pengunjung di malam yang ke tiga, pada malam itu beliau keluar dan orang-orang shalat mengikuti shalatnya. pada hari keempat masjid tidak mampu lagi menampung pengunjungnya, maka Rasulullah Saw. Shalat Isya’ bersama mereka, kemudian beliau masuk rumahnya dan orang-orang memastikan hal itu. ‘Aisyah ra. melanjutkan : Beliau bertanya kepadaku : Bagaimana orang-orang bisa menjadi seperti itu ya ‘Aisyah ?. Aku menjawab : Ya Rasulullah! Orang-orang mendengar tentang shalatmu bersama mereka yang di masjid tadi malam, oleh karena itu mereka berkumpul agar engkau mau shalat bersama mereka. Beliau berkata : Gulunglah tikarmu ini ya ‘Aisyah, lalu aku kerjakan. Malam itu Rasulullah Saw. tidur dengan tidak lalai, sedangkan orang-orang mengetahui tempatnya, kemudian masuklah beberapa orang dari mereka sambil berkata : Shalat! Hingga Nabi Saw. keluar untuk shalat Shubuh. Setelah selesai shalat Fajar, beliau menghadap ke orang banyak, kemudian bertasyahud dan berkata : Amma ba’du ! Wahai orang-orang demi Allah dan Alhamdulillah tadi malam aku tidur pulas, tidak tersembunyi bagiku tempat-tempat kamu, tetapi aku khawatir akan dijadikan kewajiban buat kamu sekalian. Pada riwayat lain : Tetapi aku takut diwajibkan atas kamu shalat malam , dan kamu tidak sanggup mengerjakannya ……”
Pada riwayat lain Zuhri menambahkan : Rasulullah Saw, wafat sedangkan orang-orang dalam keadaan seperti itu, demikian juga pada masa khalifah Abu Bakar dan permulaan kekhalifahan Umar.
Penjelasan:

Perbuatan Nabi Saw. berjama’ah selama tiga malam bersama mereka, merupakan petunjuk jelas bahwa shalat Tarawih itu sebaiknya dikerjakan dengan berjama’ah. Adapun sikap Nabi Saw. tidak hadir bersama mereka pada malam ke empat, tidak dapat diartikan bahwa anjuran itu sudah dihapuskan, karena ketika itu beliau menyebutkan illatnya yaitu “aku takut/khawatir akan diwajibkan atas kamu”.

@. Tetapi dengan wafatnya beliau, maka hilang pula kekhawatiran tersebut, berarti kita kembali kepada hukum yang terdahulu yaitu anjuran berjama’ah, oleh karena itu Umar ra. berusaha menghidupkan kembali tuntunan tersebut sebagaimana disebutkan di atas. Demikian pula sikap yang diambil oleh Jumhur Ulama’. (hemat saya)

4. Hudzaifah bin Yaman menceritakan :
“ Telah bangun Rasululullah Saw. di suatu malam pada bulan Ramadhan di kamarnya yang terbuat dari pelepah korma, kemudian ia menuangkan setimba air, kemudian mengucap “Allahu Akbar Allahu Akbar” tiga kali, Dzal Malakut wal Jabarut wal Kibriyaa’ wal ‘Azhmah, kemudian beliau membaca surah Al-Baqarah. Ia berkata selanjutnya : Kemudian beliau ruku’, dan adalah ruku’nya seperti berdirinya, lalu dalam rukunya beliau mengucap “subhana rabbiyal azhim, subhana rabbiyal azhim”, kemudian mengangkat kepalanya dari ruku’, lalu berdiri sebagaimana ruku’nya dan mengucap : “La Rabbil Hamdu”. Kemudian beliau sujud, dan adalah sujudnya selama berdirinya. Beliau mengucap dalam sujudnya : “Subhana Rabbiyal A’laa”, kemudian mengangkat kepalanya dari sujud, kemudian duduk, pada duduk antara dua sujud beliau mengucap “Rabbigh Firli”, lama duduknya sebagaimana sujudnya, kemudian sujud dan berkata : “Subhana Rabbiyal A’laa”. Maka beliau shalat empat raka’at dan membaca padanya surah Al-Baqarah dan Ali ‘Imran dan An-Nisaa’ dan Al-Maidah serta Al-An’am sehingga datang Bilal untuk adzan buat shalat “.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah II : 90/2 dan Ibnu Nashr pada halaman 80 - 90. Nasa’i dalam sunannya I : 246, Ahmad V : 400 melalui Thalhah bin Yazid Al-Anshari dari Hudzaifah, riwayat-riwayatnya ini saling menambah antara satu dengan yang lain. Juga oleh Imam Tirmidzi I : 303 serta Ibnu Majah dalam I : 290 dan Hakim I : 271 tentang ucapan duduk antara dua sujud. Hakim juga mengesahkannya dan Dzahabi menyetujuinya, orang-orangnya kepercayaan, tetapi Nasa’i menganggap ini Mursal dengan menyebut illatnya bahwa Thalhah bin Yazid tidak aku ketahui mendengar dari Hudzaifah.

Menurut pedapat saya(Abdul Hakim bin Amir Abdat), sanad hadits ini telah disambung oleh ‘Amr bin Marrah dari Abi Hamzah yang dia itu adalah Thalhah bin Yazid, ia mendengar dari seorang laki-laki dari Absi, Syu’bah memandang bahwasanya ia adalah Shillah bin Zufar dari Hudzaibah. Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud I : 139-140, Nasa’i I : 172, Thahawi dalam “Al-Musykil” I : 308, Thayalisi I : 115 serta Baihaqi II : 121-122, juga Ahmad 5 : 398 dan Baghawi pada hadits Ali bin Ja’di I : 4/1 dari Syu’bah dari ‘Amr, sanadnya shahih. Muslim meriwayatkan II : 186 melalui jalan Al-Mustaurad bin Ahnaf dari Shillah bin Zufar yang semakna dengan ini disertai tambahan, pengurangan dan beberapa perubahan kecil.

Keutamaan Shalat Tarawih dengan berjama’ah.

“Artinya : Abu Dzar ra. berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah Saw. tetapi beliau tidak shalat bersama kami, sehingga tinggal tujuh hari dari bulan , lalu ia shalat bersama kami hingga larut sepertiga malam, kemudian di hari keenam ia tidak shalat bersama kami lagi, dan ia shalat bersama kami pada malam kelima, hingga larut pertengahan malam, lalu kami bertanya : Ya Rasulullah ! Alangkah baiknya kalau seandainya engkau kerjakan sunnah itu dengan kami dalam sisa malam kami ini. Maka jawabnya : Sesungguhnya barangsiapa yang shalat bersama imam hingga selesai, akan ditetapkan baginya shalat semalam . Kemudian setelah itu ia tidak lagi shalat bersama kami hingga tinggal tiga hari dari bulan itu, kemudian ia shalat lagi bersama kami pada malam ketiganya, dan ia ajak keluarga dan istrinya, lalu ia shalat bersama kami, hingga kami khawatir al-falaah. Aku bertanya kepada Nabi Saw. Apakah Al-Falaah itu ? Jawabnya : Yaitu Sahur”.

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah II : 90/2, Abu Dawud I : 217, Tirmidzi II : 72-73, disahkan oleh Nasa’i I : 238 dan Ibnu Majah I : 397 dan Thahawi dalam “Syarhul Ma’aanil Atsar” I : 206, dan Ibnu Nashr hal 89, Faryabi I : 71 dan II : 72, serta Baihaqi II : 494. Semua sanad mereka Shahih.
Mendukung hadits ini adalah riwayat Abu Dawud dalam kitab Al-Masail hal 62, ia berkata.

“ Saya mendengar Ahmad ditanya : Mana yang lebih engkau sukai, orang yang shalat di bulan Ramadhan bersama orang banyak atau sendirian ; Ia menjawab : Orang yang shalat bersama orang banyak ; aku juga mendengar ia berkata : Aku menyukai orang-orang yang shalat bersama imam dan witir bersamanya. Nabi Saw. bersabda : Sesungguhnya seorang laki-laki apabila ia shalat bersama imam, akan ditetapkan baginya di sisi malamnya. Yang seperti ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Nashr, halaman 91 dari Ahmad, kemudian Abu Dawud berkata : “Ahmad ditanya dan aku mendengar : bagaimana tentang mengakhirkan pelaksanaan shalat Tarawih hingga akhir malam ? Ia menjawab : Tidak ada sunnah kaum Muslimin yang lebih baik aku sukai dari pada itu *}”.

*}. Pengertian berjama’ah pada waktu awal untuk shalat Tarawih lebih afdhal baginya daripada shalat sendirian, walau mengakhirkannya hingga akhir malam. Jadi walaupun menta’khir shalat Tarawih itu mempunyai keutamaan sendiri, tapi melakukan dengan jama’ah adalah lebih utama dengan dasar bahwa Nabi Saw. melakukannya beberapa malam bersama para shahabat, sebagaimana yang diceritakan pada riwayat ‘Aisyah ra. terdahulu, dan demikian pula yang dilakukan kaum Muslimin mulai kekhalifahan Umar ra. hingga sekarang.

Hadits Mengenai Shalat Tarawih 20 rakaat isnadnya Lemah

Hadits Pertama

“Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya Nabi SAW, shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka’at, . Di riwayat lain ada tambahan : “Dan witir setelah shalat dua puluh raka’at”.
Riwayat ini semuanya dari jalan Abu Syaibah, yang namanya : Ibrahim bin Utsman dari Al-Hakim dari Misqam dari Ibnu Abbas.
Imam Thabrani berkata : Tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas melainkan dengan isnad ini. Imam Baihaqi berkata : Abu Syaibah menyendiri dengannya, sedang dia itu dlo’if. Imam Al-Haistami berkata di kitabnya “Majmauz Zawaid : Sesungguhnya Abu Syaibah ini dho’if.

Al-Hafidz berkata di kitabnya Al-Fathul Baari : Isnadnya dlo’if, Al-Hafidz Zaila’i telah mendho’ifkan isnadnya di kitabnya Nashbur Rayah . Demikian juga Imam Shan’ani di kitabnya Subulus Salam mengatakan tidak ada yang sah tentang Nabi shalat di bulan Ramadlan dua puluh raka’at.

@. Saya (Penulis) berpandangan : Bahwa hadits ini DHO’IFUN JIDDAN (Lemah Sekali) sehingga tidak patut dijadikan Hujjah. Bahkan muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani mengatakan : MAUDHU’. Tentang kemaudhu’an hadits ini telah beliau terangkan di kitabnya “Silsilah Hadits Dho’if wal Maudhu' ” kitab “Shalat Tarawih” dan “Irwaul Gholil”.

Siapa yang ingin mengetahui lebih luas lagi tentang masalah ini, bacalah tiga kitab Syaikh Al-Albani di atas, khususnya kitab shalat tarawih. Sebagaimana telah kita ketahui dari keterangan beberapa Ulama di atas sebab lemahnya hadits ini, karena di isnadnya ada seorang rawi tercela, yaitu IBRAHIM BIN UTSMAN ABU SYAIBAH.
Ulama-ulama ahli hadits menerangkan mengenai Ibrahim bin Utsman Abu Syaibah, sebagai berikut :
- Kata Imam Ahmad, Abu Dawud, Muslim, Yahya, Ibnu Main dll : Dho’if.
- Kata Imam Tirmidzi : Munkarul Hadits.
- Kata Imam Bukhari : Ulama-ulama mereka diam tentangnya .
- Kata Imam Nasa’i : Matrukul Hadits.
- Kata Abu Hatim : Dho’iful Hadits, Ulama-ulama diam tentangnya dan mereka meninggalkan haditsnya.
- Kata Ibnu Sa’ad : Adalah dia Dho’iful Hadits.
- Kata Imam Jauzajaniy : Orang yang putus (Munqathi') .
- Kata Abu Ali Naisaburi : Bukan orang yang kuat .
- Kata Imam Ad-Daruquthni : Dho’if.
- Al-Hafidz menerangkan : Bahwa ia meriwayatkan dari Al-Hakam hadits-hadits munkar.
Periksalah kitab-kitab :
* Irwaul Ghalil, oleh Muhaddits Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. 2 : 191, 192, 193.
* Nashbur Raayah, oleh Al-Hafidz Zaila’i. 2 : 153.
* Al-Jarh wat Ta’dil, oleh Imam Ibnu Abi Hatim. 2 : 115
* Tahdzibut-Tahdzib, oleh Imam Ibnu Hajar. 1 : 144, 145
* Mizanul I’tidal, oleh Imam Adz-Dzahabi. 1 : 47, 48

catatan: Al-Hafidz : maksud saya adalah Ibnu Hajar Al-Asqalani

Hadits Kedua

“Dari Yazid bin Ruman, ia berkata : Adalah manusia pada zaman Umar bin Khattab mereka shalat tarawih di bulan Ramadlan dua puluh tiga raka’at”.

Keterangan :
Hadits ini tidak sah ! Ketidaksahannya ini disebabkan karena dua penyakit :

Pertama :
MUNQATI’ (Sanadnya Terputus). Karena Yazid bin Ruman yang meriwayatkan hadits ini tidak bertemu dengannya. Imam Baihaqi sendiri mengatakan : Yazid bin Ruman tidak bertemu dengan Umar, dengan demikian sanad hadits ini Terputus !

Sanad yang demikian oleh Ulama-ulama ahli hadits dinamakan Munqati’, sedang hadits yang sanadnya munqati’ menurut ilmu Musthalah Hadits yang telah disepakati, masuk dalam hadits Dho’if yang tidak boleh dijadikan Dalil. Tentang tidak bertemunya Yazid bin Ruman ini dengan Umar telah saya periksa seteliti mungkin di kitab-kitab rijalul hadits yang ternyata memang benar bahwa ia tidak pernah bertemu atau sezaman dengan Umar bin Khattab.

Kedua :
Riwayat di atas bertentangan dengan riwayat yang sudah shahih di bawah ini :

“Dari Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : “Umar bin Khattab telah memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dariy supaya keduanya shalat mengimami manusia dengan SEBELAS RAKA’AT”.

Sanad hadits ini shahih, karena :
- Imam Malik seorang Imam besar lagi sangat kepercayaan yang telah diterima umat riwayatnya.
- Muhammad bin Yusuf seorang kepercayaan yang dipakai riwayatnya oleh Imam Bukhari dan Muslim.
- Sedang Saib bin Yazid seorang shahabat kecil yang bertemu dan sezaman dengan Umar bin Khatab.
- Dengan demikian sanad hadits ini MUTTASHIL (Bersambung) .

KESIMPULAN
- Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa Nabi Saw shalat di bulan Ramadlan 20 raka’at atau 21 atau 23 raka’at tidak ada satupun yang shahih. Tentang ini tidak tersembunyi bagi mereka yang alim dalam ilmu hadits.
- Riwayat-riwayat yang menerangkan bahwa di zaman Umar bin Khattab para shahabat shalat tarawih 23 raka’at tidak ada satupun yang shahih sebagaimana keterangan di atas. Bahkan dari riwayat yang Shahih kita ketahui bahwa Umar bin Khattab memerintahkan shalat tarawih dilaksanakan sebelas raka’at sesuai dengan contoh Rasululullah Saw.

@. Hendaknya dalam masalah ibadah kita harus bisa mencontoh Nabi Saw, setidaknya para Sahabat yang menjadi sandaran kedua setelah sepeninggal Nabi Saw. sebab beliau bersabda: "Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin setelah-Ku. (HR. Abu Daud dan Tirmudzi). dengan memahami kandungan hadits ini kiranya cukup jelas, jika pesan Rasulullah Saw. sebelum meninggalkan umatnya itu menggambarkan keprihatinan bahwa sepeninggal Beliau Sunnah-Nya itu akan tercampuri oleh kedustaan orang-orang yang hendak menghacurkan Islam, sebagaimana upaya Pengingkar Sunnah, untuk tidak menjadikan Hadits sebagai hukum syariat yang kedua setelah Al-Qur'an.



Pengertian I'tikaf

I’tikaf dari segi bahasa artinya: “Iqamah (tegak) — melakukan suatu – perbuatan, di suatu tempat”. Adapun pengertiannya dari segi syara’ ialah: “Menetap di masjid dengan niat melakukan ‘ibadah”.

Hukum i’tikaf

Para ulama sepakat bahwa i’tikaf hukumnya sunnah, sebab Rasulullah Saw. senantiasa melakukannya tiap tahun untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memohon pahalaNya. Terutama pada hari-hari di bulan Ramadhan dan lebih khusus ketika memasuki sepuluh akhir dari bulan suci itu. Demikian tuntunan Rasulullah Saw.
Yang wajib beri’tikaf

Sebagaimana dimaklumi bahwa i’tikaf hukumnya sunnah, kecuali jika seseorang bernadzar untuk melakukannya, maka wajib baginya untuk menunaikan nadzar tersebut. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits Umar bin Khaththab ra. (HR. Bukhari dan Muslim).
Di sebutkan bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah meninggalkan i’tikaf semenjak beliau sampai di Madinah hingga akhir hayat.

Tempat i’tikaf

I’tikaf tempatnya di setiap masjid yang di dalamnya dilaksanakan shalat berjama’ah kaum laki-laki, firman Allah Ta’ala:
“Janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya” (Al-Baqarah: 187)

Orang yang beri’tikaf pada hari Jum’at disunnahkan untuk beri’tikaf di masjid yang di gunakan untuk shalat Jum’at. Tetapi jika ia beritikaf di masjid yang hanya untuk shalat jama’ah lima waktu saja maka hendaknya ia keluar hanya sekedar untuk shalat jum’at (jika telah tiba waktunya), kemudian kembali lagi ke tempat i’tikafnya semula.

Waktu i’tikaf

I’tikaf di sunnahkan kapan saja di sembarang waktu, maka diperbolehkan bagi setiap muslim untuk memilih waktu kapan ia memulai i’tikaf dan kapan mengakhirinya. Namun yang paling utama adalah i’tikaf di bulan suci Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir. Inilah waktu i’tikaf yang terbaik sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadits shahih:
“Bahwasanya Nabi Saw. selalu beri’tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra.)

Sunnah-sunnah bagi orang yang sedang i’tikaf

Di sunnahkan bagi para mu’takif supaya memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untuk berdzikir, membaca Al Qur’an, mengerjakan shalat sunnah (terkecuali pada waktu-waktu terlarang), serta memperbanyak tafakur tentang keadaannya yang telah lalu, hari ini dan masa mendatang. Juga banyak-banyak merenungkan tentang hakekat hidup di dunia ini dan kehidupan akhirat kelak.

Hal-hal yang harus dihindari mu’takif

Orang yang sedang i’tikaf dianjurkan untuk menghindari perkara-perkara yang tidak bermanfaat seperti banyak bercanda, mengobrol yang tidak berguna sehingga mengganggu konsentrasi i’tikafnya. Karena i’tikaf bertujuan mendapatkan keutamaan bukan malah menyibukkan diri dengan hal-hal yang tidak di sunnahkan.

Ada sebagian orang yang beri’tikaf namun dengan meninggalkan tugas dan kewajibannya. Hal ini tidak dapat di benarkan karena sungguh tidak proporsional seseorang meninggalkan kewajiban untuk sesuatu yang sunnah. Oleh karena itu orang yang i’tikaf hendaknya ia menghentikan i’tikafnya jika memiliki tanggungan atau kewajiban yang harus dikerjakan.


Hal-hal yang mebolehkan mu’takif keluar dari masjid

Seorang mu’takif diperbolehkan meninggalkan tempat i’tikafnya jika memang ada hal-hal yang sangat mendesak. Diantaranya; buang hajat yaitu keluar ke WC untuk buang air, atau untuk mandi, keluar untuk makan dan minum jika tidak ada yang mengantarkan makanan kepadanya, dan pergi untuk berobat jika sakit. Demikian pula untuk keperluan syar’i seperti; shalat Jum’at jika tempat ia beri’tikaf tidak digunakan untuk shalat Jum’at, menjadi saksi atas suatu perkara dan juga boleh membantu keluarganya yang sakit jika memang mengharuskan untuk dibantu. Juga keperluan-keperluan semisalnya yang memang termasuk kategori dharuri (harus).

Larangan-larangan dalam i’tikaf

Orang yang sedang bei’tikaf tidak diperbolehkan keluar dari masjid hanya untuk keperluan sepele dan tidak penting, artinya tidak bisa dikategorikan sebagai keperluan syar’i. Jika ia memaksa keluar untuk hal-hal yang tidak perlu tersebut maka i’tikafnya batal. Selain itu ia juga dilarang melakukan segala perbuatan haram seperti ghibah (menggunjing), tajassus (mencari-cari kesalahan orang), membaca dan memandang hal-hal yang haram. Pendeknya semua perkara haram diluar i’tikaf maka pada saat i’tikaf lebih ditekankan lagi keharamannya. Mu’takif juga di larang untuk menggauli istrinya, karena hal itu membatalkan i’tikafnya.

Menentukan syarat dalam i’tikaf

Seorang mu’takif diperbolehkan menentukan syarat sebelum melakukan i’tikaf untuk melakukan sesuatu yang mubah. Misalnya saja ia menetapkan syarat agar makan minum harus dirumahnya, hal ini tidak apa-apa. Lain halnya jika ia pulang dengan tujuan menggauli istrinya, keluar masjid agar bisa santai atau mengurusi dagangannya maka i’tikafnya menjadi batal. Karena semua itu bertentangan dengan makna dan pengertian i’tikaf itu sendiri.




Hikmah dan Manfaat i’tikaf

I’tikaf memiliki hikmah yang sangat besar yakni menghidupkan sunnah Rasul Saw. dan menghidupkan hati dengan selalu melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah Ta’ala.

Sedangkan manfaat i’tikaf diantaranya adalah sebagai berikut:

· Untuk merenungi masa lalu dan memikirkan hal-hal yang akan dilakukan di hari esok.

· Mendatangkan ketenangan, keten-traman dan cahaya yang menerangi hati yang penuh dosa.

· Mendatangkan berbagai macam kebaikan dari Allah SWT. Amalan-amalan kita akan diangkat dengan rahmat dan kasih sayangNya

· Orang yang beri’tikaf pada sepuluh akhir bulan Ramadhan akan terbebas dari dosa-dosa karena pada hari-hari itu salah satunya bertepatan dengan lailatul qadar.

Mudah-mudahan Allah memberikan taufik dan inayahNya kepada kita agar dapat menjalankan i’tikaf sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw., terutama di bulan Ramadhan yang mulia ini.

Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Nabi Muhammad, segenap keluarga dan shahabatnya, Amiin.

Lailatul Qadr

Pengertian lailautul Qadr

Lailatul Qadar atau Lailatul Qadr menurut (bahasa: Malam ketetapan) adalah satu malam penting yang terjadi pada bulan Ramadhan, yang dalam Al Qur'an digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Dan juga diperingati sebagai malam diturunkannya Al Qur'an.
Yang membimbing orang-orang yang berpegang dengannya ke jalan kemuliaan dan mengangkatnya ke derajat yang mulia dan abadi. Ummat Islam yang mengikuti Sunnah Rasulnya berlomba-lomba untuk beribadah di malam harinya dengan penuh iman dan mengharap pahala dari Allah SWT. maka oleh karenanya saya meminta kepada pembaca sudi kiranya saya menjelaskan sedikit tentang masalah ini.

Hadits-hadits Nabi yang shahih menjelaskan tentang malam tersebut.

1. Keutamaan Lailatul Qadr

Cukuplah untuk mengetahui tingginya kedudukan Lailatul Qadr dengan mengetahui bahwasanya malam itu lebih baik dari seribu bulan. Allah SWT berfirman (yang artinya):
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (Al-Qadr:1-5)

2. Waktunya

Pendapat yang paling kuat, terjadinya Lailatul Qadr itu pada malam di akhir-akhir bulan Ramadhan sebagaimana ditunjukkan oleh hadits ‘A`isyah, dia berkata: Rasulullah Saw. beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan dan beliau bersabda:

“Carilah Lailatul Qadr di malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no.2017 dan Muslim no.1169)

Jika seseorang merasa lemah atau tidak mampu, maka janganlah sampai terluput dari tujuh hari terakhir, berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Umar, dia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:

“Carilah di sepuluh hari terakhir, jika salah seorang di antara kalian tidak mampu atau lemah maka jangan sampai terluput dari tujuh hari sisanya.” (HR. Muslim no.1165)

Telah diketahui dalam Sunnah, pemberitahuan ini ada karena perdebatan para shahabat. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit, ia berkata: Rasulullah Saw. keluar pada Lailatul Qadr, lalu ada dua orang shahabat berdebat, maka beliau bersabda:
“Aku keluar untuk mengkhabarkan kepada kalian tentang Lailatul Qadr, tetapi fulan dan fulan berdebat hingga diangkat (tidak bisa lagi diketahui kapan kepastian lailatul qadr terjadi), semoga ini lebih baik bagi kalian, maka carilah pada malam 29, 27 dan 25.” (HR. Bukhari 2023)

@. Banyak hadits yang mengisyaratkan bahwa Lailatul Qadr itu terjadi pada sepuluh hari terakhir, hadits yang lainnya menegaskan di malam ganjil sepuluh hari terakhir. Hadits yang pertama sifatnya umum sedangkan hadits kedua sifatnya khusus, maka riwayat yang khusus lebih didahulukan daripada yang umum, dan telah banyak hadits yang lebih menerangkan bahwa Lailatul Qadr itu ada pada tujuh hari terakhir bulan Ramadhan (malam ke-25, 27 dan 29), tetapi ini dibatasi kalau tidak mampu dan lemah. Maka dengan penjelasan ini, cocoklah hadits-hadits tersebut dan tidak saling bertentangan.

3. Bagaimana Mencari Lailatul Qadr?

Sesungguhnya malam yang diberkahi ini, barangsiapa yang diharamkan untuk mendapatkannya, maka sungguh telah diharamkan seluruh kebaikan (baginya). Oleh karena itu dianjurkan bagi muslimin agar bersemangat dalam melakukan ketaatan kepada Allah untuk menghidupkan malam Lailatul Qadr seperti melakukan shalat tarawih, membaca Al-Qur`an, menghafalnya dan memahaminya serta amalan yang lainnya, yang dilakukan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala-Nya yang besar. Jika dia telah berbuat demikian maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.

Rasulullah Saw. bersabda:
“Barangsiapa shalat malam/tarawih (bertepatan) pada malam Lailatul Qadr dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari 38 dan Muslim no.760)


Disunnahkan untuk memperbanyak do’a pada malam tersebut. Diriwayatkan dari ‘Aisyah, dia berkata: Aku bertanya: Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu kapan Lailatul Qadr (terjadi), apa yang harus aku ucapkan? Beliau menjawab: “Ucapkanlah:

“Ya Allah, Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampunan, maka ampunilah aku.” (HR. At-Tirmidzi 3760 dan Ibnu Majah 3850, sanadnya shahih)

Dari ‘Aisyah ra. berkata:
“Adalah Rasulullah Saw. apabila masuk pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malamnya, membangunkan keluarganya, dan bersungguh-sungguh serta mengencangkan kainnya (yaitu menjauhi istri-istrinya untuk konsentrasi beribadah dan mencari Lailatul Qadr).” (HR. Bukhari no.2024 dan Muslim no.1174)

4. Tanda mendapatkan lailatul Qadr

Dari Ubay ra, ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Pagi hari malam Lailatul Qadr, matahari terbit tidak ada sinar yang menyilaukan, seperti bejana hingga meninggi.” (HR. Muslim no.762)

Dan dari Ibnu ‘Abbas ra. ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:
“Malam Lailatul Qadr adalah malam yang indah, cerah, tidak panas dan tidak juga dingin, dan keesokan harinya sinar mataharinya melemah kemerah-merahan.” (HR. Ibnu Khuzaimah 3/231 dan Al-Bazzar 1/486, sanadnya hasan)




Shalat Idul Fitri

Shalat idul fitri ini dilakukan oleh kaum muslim setiap setahun sekali, kaum muslim ketika datangnya idul fitri mereka saling bersalam-salaman dan meminta maaf kepada saudara manusia. apakah hal ini ada perintah dari Nabi Saw. saya akan sedikit membahasnya, tetapi sebelumnya dari sini saya mengatakan Fitri itu sendiri menurut bahasa adalah Makan Pagi. artinya sebelum melaksanakan shalat idul fitri umat muslim d isunnahkan makan, adapun mereka yang makan setelah shalat idul fitri itu adalah hal Bid'ah, sebab Nabi Saw. tidak pernah mengajarkan, adapun saya belum pernah menjumpai hadits shahih mengenai hal tersebut. maka di dalam masalah ini saya akan sedikit menguraikan perihal shalat idul fitri.

Pengertian Idul Fitri

Ada tiga pengertian tentang Idul Fitri. Di kalangan ulama ada yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada kesucian. Artinya setelah selama bulan Ramadan umat Islam melatih diri menyucikan jasmani dan rohaninya, dan dengan harapan pula dosa-dosanya diampuni oleh Allah SWT, Maka memasuki hari Lebaran mereka telah menjadi suci lahir dan batin.

Ada yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada fitrah, atau naluri religius. Hal ini sesuai dengan Alquran Surat Al-Baqarah ayat 183, bahwa tujuan puasa adalah agar orang yang melakukannya menjadi orang yang takwa atau meningkat kualitas religiusitasnya.

Ada pula yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali kepada keadaan di mana umat Islam diperbolehkan lagi makan dan minum siang hari seperti biasa. Di kalangan ahli bahasa Arab, pengertian ketiga itu dianggap yang paling tepat.

Dari ketiga makna tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam memasuki Idul Fitri umat Islam diharapkan mencapai kesucian lahir batin dan meningkat kualitas religiusitasnya. Salah satu ciri manusia religius adalah memiliki kepedulian terhadap nasib kaum yang sengsara. Dalam Surat Al-Ma’un ayat 1 -3 disebutkan, adalah dusta belaka kalau ada orang mengaku beragama tetapi tidak mempedulikan nasib anak yatim. Penyebutan anak yatim dalam ayat ini merupakan representasi dari kaum yang sengsara.

Waktu dan Tempat Melaksanakan Shalat Idul Fitri

Shalat Id tidak disyaratkan harus dilaksanakan di Masjid. Bahkan menurut pendapat Imam Malik shalat Id juga baik dilaksanakan di lapangan terbuka. Karena Nabi Muhammad SAW juga melakukan shalat Id di lapangan kecuali karena ada hujan atau penghalang lainnya.

Adapun perbedaan di antara tanah lapang dengan masjid bahwa tanah lapang berada di tempat terbuka, sedangkan masjid berada di dalam sebuah tempat (bangunan) yang tertutup.

“Dari Abi Sa’id Al-Khudri ra, ia berkata: “Rasulullah Saw. biasa keluar menuju mushalla (tanah lapang/lapangan) pada hari Idul Fitri dan Adha. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau berpaling menghadap manusia, di mana mereka dalam keadaan duduk di shaf-shaf mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling ….” (HR. Bukhari 2/259-260, Muslim 3/20, Nasa`i 1/234; )

Namun demikian, menunaikan shalat Id di masjid lebih utama. Imam As-Syafi’i bahkan menyatakan sekiranya masjid tersebut mampu menampung seluruh penduduk di daerah tersebut, maka mereka tidak perlu lagi pergi ke tanah lapang (untuk mengerjakan shalat Id) karena shalat Id di masjid lebih utama. Akan tetapi jika tidak dapat menampung seluruh penduduk, maka tidak dianjurkan melakukan shalat Id di dalam masjid.

”Jika Masjid di suatu daerah luas (dapat menampung jama’ah) maka sebaiknya shalat di Masjid dan tidak perlu keluar…. karena shalat di masjid lebih utama”

Dari fatwa Imam As-Syafi’i ini, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani telah membuat kesimpulan seperti berikut: “Dari sini dapat disimpulkan, bahwa permasalahan ini sangat bergantung kepada luas atau sempitnya sesuatu tempat, kerana diharapkan pada Hari Raya itu seluruh masyarakat dapat berkumpul di suatu tempat. Oleh kerana itu, jika faktor hukumnya (’illatul hukum) adalah agar masyarakat berkumpul (ijtima’), maka shalat Id dapat dilakukan di dalam masjid, maka melakukan shalat Id di dalam masjid lebih utama daripada di tanah lapang”. (Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Baari, jilid 5, h. 283)

@. Tetapi dalam pandangan saya yang lebih utama adalah di tanah Lapang sebab dari sini kita bisa melihat hadits-hadits shahih yang di riwayatkan oleh para sahabat, bagaimana Nabi Saw. memberikan tauladannya. itu hanya pendapat Imam Syafi'i tetapi tidak saya temukan Haditsnya. jika dalam kondisi Hujan memang kita di Sunnahkan melaksanakan Shalat Id di dalam masjid. demikian penjelasan sedikit mengenai masalah ini. semoga Allah tetap memberikan petunjuk kepada Kita.

{Dinukil dari Fathul Majid hal. 289 tahqiq Al-Furayyan} Id dalam Islam adalah Idul Fitri Idul Adha dan Hari Jum’at.
Dari Anas bin Malik ra. ia berkata: Rasulullah Saw.datang ke Madinah dalam keadaan orang-orang Madinah mempunyai 2 hari yang mereka bermain-main padanya. Rasulullah Saw. berkata: “Apa dengan 2 hari itu?” Mereka menjawab “Kami bermain-main padanya waktu kami masih jahiliyyah.” Maka Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menggantikannya untuk kalian dengan yang lebih baik dari keduanya yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.” {Shahih HR. Abu Dawud no. 1004 dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani}

Dari Ummu ‘Athiyyah ra. berkata :
Rasulullah Saw. memerintahkan kami untuk mengeluarkan mereka pada hari raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adh-ha, yaitu para gadis, wanita-wanita yang sedang haidh, dan para wanita pingitan. Adapun para wanita haidh maka dia harus menjauhi shalat. Hendaknya mereka semua menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin.

Maka aku (Ummu ‘Athiyyah) berkata : Wahai Rasulullah, ada di antara kami tidak memiliki jilbab?

Maka beliau (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ) menjawab : Hendaknya saudarinya meminjamkan jilbab kepadanya. (Muttafaqun ‘alaihi)*

* Tetapi dalam masalah ini An-Nasa'i tidak mengemukakan masalah Jilbab, Lihat Fiqh Wanita. (Ibrahim Muhammad Al-Jamal)

Adab di Dalam Shalat Idul fitri

1. Mengenakan Pakaian yang Bagus

Dari Ibnu ‘Abbas ra. berkata :

Dulu Nabi Saw. pada hari ‘Id mengenakan burdah merah. HR. Ath-Thabarani. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1279.

Dari Ibnu Umar ra. dia berkata:
“Umar mengambil jubah dari sutera yang dijual di pasar. Diapun mengambilnya lalu dibawa kepada Rasulullah Saw. seraya berkata: "Ya Rasulullah, Belilah ini agar engkau bisa berhias dengannya untuk hari 'Id dan para utusan” (HR. Al-Bukhari no. 906 dan Muslim no. 2068)

Perhatian :
a. Mengenakan Pakaian Bagus ini berlaku hanya bagi pria. Adapun kaum wanita tidak diperkenankan mengenakan pakaian yang indah ketika berangkat ke mushalla. Berdasarkan sabda Nabi Saw. tentang kaum wanita yang keluar ke masjid, “namun hendaknya mereka keluar dengan tidak mengenakan wewangian.” HR. Abu Dawud, yakni dengan mengenakan pakaian biasa, bukan pakaian berdandan atau bersolek. Haram bagi kaum wanita keluar dalam keadaan memakai wewangian dan berdandan.
b. Pakaian bagus di sini bukan berarti baju yang baru, apalagi baju mewah yang mahal.


2. Mandi

Sebagian ‘ulama berpendapat disunnahkan mandi terlebih dahulu sebelum berangkat shalat ‘Id. Ibnul Qayyim mengatakan:
“Terdapat riwayat yang shahih yang menceritakan bahwa Ibnu ‘Umar yang dikenal sangat
mencontoh ajaran Nabi Saw. biasa mandi pada hari ‘Id sebelum
berangkat shalat.”
Diriwayatkan oleh Malik (426) Lihat Al-Muwaththa' dari Nafi’ dia berkata:

“Bahwasanya Ibnu ‘Umar mandi di hari Iedul Fithri sebelum berangkat ke musholla.”
Bahkan Ibnu Abdil Barr dalam Al-Istidzkar (711), Ibnu Rusyd dalam Bidayah Al-Mujtahid (1/505), dan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ (5/7) menukil ijma’ akan disunnahkannya amalan ini.

3. Makan terlebih dahulu Sebelum Shalat ‘Id

Dari Anas bin Malik ra. berkata :
Dulu Rasulullah Saw. tidaklah berangkat pada Hari ‘Idul Fitri (menuju shalat ‘id) sebelum beliau memakan beberapa kurma terlebih dahulu. (HR. Bukhari)

Dalam riwayat lain dengan tambahan keterangan : Memakan kurma dalam jumlah ganjil. (HR. Ibnu Khuzaimah, Al-Bukhari secara mu’allaq.)

4. Melewati Jalan yang Berbeda antara berangkat dan pulangnya

Dari Jabir bin ‘Abdillah ra.
Dulu Nabi Saw. apabila Hari Raya, beliau menempuh jalan yang berbeda. (Muttafaqun ‘alaihi )

Dari Abu Hurairah ra.
Dulu Nabi Saw. apabila keluar menuju shalat ‘Id, beliau pulang melewati jalan yang berbeda dengan jalan berangkat. (HR. Ahmad, At-Tirmidz, Ibnu Majah).

5. Waktu Pelaksanaan Shalat ‘Id

Waktu Shalat ‘Id adalah seperti waktu Shalat Dhuha, yaitu sejak Matahari setinggi tombak hingga tergelincirnya Matahari. Dalilnya :
Pertama : Nabi saw. dan para Khulafa`ur Rasyidin ra. tidaklah mengerjakan shalat ‘id kecuali setelah Matahari setinggi tombak.

Kedua : Bahwa sebelum itu (yakni mulai selesai shubuh, sampai matahari terbit namun masih belum setinggi tombak) adalah waktu terlarang untuk shalat.
(lihat Asy-Syarhul Mumti’, Syaikh Al-‘Utsaimin)

Al-Imam Abu Dawud dalam kitab Sunan-nya meletakkan bab berjudul : “Waktu Berangkat untuk Shalat ‘Id“. Kemudian beliau menyebutkan atsar (perkataan Sahabat) dari salah seorang Shahabat Nabi bernama ‘Abdul bin Bisr ra.

‘Abdullah bin Bisr salah seorang shahabat Rasulullah Saw.berangkat bersama kaum muslimin pada hari ‘Idul Fithri atau ‘Idul Adha. Maka beliau mengingkari keterlambatan imam. Beliau berkata : “Dulu ketika kami bersama Rasulullah Saw, pada waktu seperti ini sudah selesai shalat.” Saat ini adalah sudah masuk waktu shalat Dhuha. HR. Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Irwa`ul Ghalil III/101.

Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad hafidzullah berkata ketika menjelaskan riwayat di atas :

Abu Dawud menyebutkan bab : “Waktu Berangkat Untuk Shalat ‘Id”, yakni berangkat pada awal siang. Khathib tiba apabila Matahari sudah tinggi. Waktu boleh untuk shalat datang setelah waktu terlarang untuk shalat, yaitu ketika Matahari sudah setinggi tombak. Terdapat satu hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. dulu menyegerakan pelaksanaan Shalat ‘Idul Adha, dan mengakhirkan pelaksanaan Shalat ‘Idul Fitri.
Shalat ‘Idul Fitri jika engkau akhirkan sedikit dari masuknya waktu, maka akan memberikan kesempatan lebih luas untuk pembagian Zakat Fitri. Adapun Shalat ‘Idul Adha jika disegerakan, maka memberikan kesempatan lebih luas untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban.
Yang jelas, waktu Shalat ‘Id dimulai sejak Matahari setinggi tombak, sebagaimana hadits shahabat ‘Abdullah bin Bisr …. .” (Syarh Sunan Abi Dawud - Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata :
“Waktu Shalat ‘Id dimulai semenjak Matahari setinggi tombak dan berakhir ketika zawal (Matahari mulai tergelincir). Namun disunnahkan untuk menyegerakan pelaksanaan Shalat ‘Idul Adha, dan mengakhirkan pelaksanaan Shalat ‘Idul Fithri. Berdasarkan keterangan yang diriwayatkan dari Nabi Saw. bahwa beliau dulu melaksanakan shalat ‘Idul Adha ketika Matahari setinggi tombak, dan melaksanakan Shalat ‘Idul Fithri ketika Matahari setinggi dua tombak. Karena umat ketika ‘Idul Fithri butuh waktu yang longgar untuk memberikan kesempatan membagikan Zakat Fitri. Adapun pada ‘Idul Adha yang dituntunkan untuk bersegera menyembelih hewan qurban, dan ini tidak bisa terwujud kecuali jika shalat disegerakan pada awal waktu.”
(Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Ibni ‘Utsaimin XVI/141)

6. Tata Cara Shalat ‘Id

Shalat ‘Id dua rakaat. Setelah Takbiratul Ihram sebelum membaca Al-Fatihah, takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, dan takbir sebanyak 5 kali pada rakaat kedua.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash ra. berkata, Nabi Saw. bersabda :
Takbir pada Shalat ‘Idul Fitri tujuh kali pada rakaat pertama, lima kali pada rakaat kedua. Dan qiraah dilakukan setelahnya pada dua rakaat tersebut.” HR. Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi. Lihat Al-Irwa` III/108.

Dari ‘Aisyah ra.: “bahwa Rasulullah Saw. bertakbir pada ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, pada rakaat pertama sebanyak 7 kali takbir, dan para rakaat kedua 5 kali takbir.”

Takbir ini hukumnya sunnah. Jika ditinggalkan, baik sengaja maupun lupa, tidak membatalkan shalat. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Saya tidak mengetahui ada perselihan dalam masalah ini.“
(Syaukani menarjihkan bahwa jika lupa tidak perlu sujud sahwi).

7. Surat yang dibaca dalam Shalat ‘Id

Dari An-Nu’man bin Basyir ra. berkata : “Dulu Rasulullah Saw. pada shalat ‘id dan shalat Jum’at membaca surat “Sabbihisma Rabbikal a’la” (yakni surat Al-A’la) dan surat “Hal Atakah Haditsul Ghasyiyah” (yakni surat Al-Ghasyiyyah). Apabila Hari ‘Id dan hari Jum’at bertemu pada satu hari yang sama, maka beliau pun membaca dua surat tersebut pada kedua shalat (yakni shalat ‘Id dan Shalat Jum’at). (HR. Muslim )

Dari Abu Waqid Al-Laitsi ra. : ‘Umar bin Al-Khaththab bertanya kepadaku tentang surat apa yang dibaca oleh Rasulullah Saw. pada hari ‘Id? Maka aku jawab : “Beliau membaca surat “Iqtarabatis Sa’ah” (yakni surat Al-Qamar) dan surat “Qaf. Wal Qur`anil Majid” (yakni surat Qaf).” (HR. Muslim)

8. Tidak Ada Shalat Apapun Sebelum dan Sesudahnya

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas ra. : Bahwa Nabi Saw. berangkat pada hari ‘Idul Fithri, maka beliau mengerjakan Shalat (‘Id) dua rakaat, beliau tidak shalat apapun sebelum atau pun sesudahnya, dan bersama beliau shahabat Bilal. (Muttafaqun ‘alaihi)

9. Khuthbah ‘Id setelah Shalat

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas ra, berkata :
Aku menghadiri pelaksanaan shalat ‘id bersama Rasulullah Saw, dan bersama Khalifah Abu Bakr, Khalifah ‘Umar, dan Khalifah ‘Utsman ra., mereka semua mengerjakan shalat terlebih dahulu sebelum khuthbah. (Muttafaqun ‘alaihi)

Dari ‘Abdullah bin Sa`ib ra.:
Aku menghadiri pelaksanaan shalat ‘Id bersama Rasulullah Saw. Ketika selesai mengerjakan shalat, beliau bersabda : “Kami akan berkhutbah, barangsiapa ingin duduk (mendengar khuthbah), maka silakan duduk, namun barangsiapa yang ingin pergi, boleh untuk pergi. HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah.


10. Apakah Khuthbah ‘Id dibuka dengan Takbir?

Hukum asalnya adalah seorang khathib memulai khuthbah dengan Khutbatul Hajah. Tidak ada riwayat yang sah dari Nabi Saw. bahwa beliau membuka Khuthbah ‘Id dengan takbir. adapaun pada umumnya para Khathib selalu melakukan hal ini dalam mimbar-mimbar hari raya , tetapi saya belum menemukan dalil yang otentik yang patut dijadikan Hujjah dalam masalah ini.

11.Qadha Shalat ‘Id

Dari Abu ‘Umair bin Anas bin Malik berkata, salah seorang pamanku dari Anshar dari kalangan Shahabat Rasulullah Saw. memberitakan kepadaku, mereka berkata, “bahwa hilal Syawwal terhalangi dari kami. Maka keesokan harinya kami pun masih berpuasa. Pada akhir siang datanglah rombangan para pengendara, maka mereka bersaksi kepada Rasulullah Saw. bahwa mereka telah melihat hilal kemarin sore. Maka Rasulullah Saw. memerintahkan mereka (para shahabat) untuk membatalkan puasanya, dan melaksanakan shalat ‘Id esok harinya.

Syaikh Al-‘Utsaimin berkata :

- Hadits ini menunjukkan bahwa shalat ‘Id jika tidak diketahui telah masuk ‘Idul Fithri kecuali setelah berakhir (keluar) waktu pelaksanaan shalat ‘Id, maka pelaksanaannya ditunda esok harinya. Namun jika diketahui ketika masih dalam rentang waktu shalat ‘Id, maka dikerjakan hari itu juga.

- Shalat yang dikerjakan esok harinya, apakah shalat ada` (tunai) atau qadha? Jawabnnya adalah shalat ada` (tunai), karena berdasarkan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Segala yang diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya, maka pelaksanaannya adalah ada’ (tunai). (lihat Syarh Bulughul Maram ).




12. Jika Terlewatkan dari Shalat ‘Id

Al-Imam Al-Bukhari meletakkan bab dalam Shahih-nya : “Jika Terlewatkan dari Shalat ‘Id maka Hendaknya Mengerjakan Shalat Dua Raka’at.”

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa cara mengerjakan Shalat Dua Raka’at tersebut adalah persis dengan dengan cara pelaksanaan Shalat ‘Id itu sendiri, namun tanpa khuthbah.

Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat jika terlewatkan shalat ‘id maka tidak perlu diqadha’. Karena dua alasan :

* Karena tidak ada tuntunan dari Nabi Saw.

* Karena Shalat ‘Id adalah shalat yang dikerjakan secara bersama-sama pada waktu tertentu, tidaklah disyari’at pelaksanaannya kecuali dengan cara tersebut.

13. Takbir Pada ‘Idul Fitri

Disyari’atkan bertakbir pada ‘Idul Fitri, dimulai sejak keluar berangkat menuju shalat ‘id hingga dimulainya khutbah ‘id. Ini berdasarkan riwayat dari Nabi Saw. dan sejumlah shahabatnya.

Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa takbir dimulai semenjak tenggelamnya Matahari malam ‘Idul Fitri.

14. Apakah Mengangkat Tangan ketika Takbir?

Ibnu Hazm rah. berkata : “Tidak mengangkat tangan pada tiap-tiap takbir, kecuali pada takbir yang mengangkat tangan pada shalat-shalat lainnya.” (Al-Muhalla – masalah 543)



Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata :

“Yang benar dikatakan padanya, tidak disunnahkan mengangkat tangan, karena tidak ada riwayat yang sah dari Nabi Saw. dalam masalah ini. Adapun diriwayatkan (mengangkat tangan) dari shahabat ‘Umar dan anaknya (‘Abdullah bin ‘Umar), tidak menjadikan hukumnya sunnah.” (Tamamul Minnah)
Namun keterangan di atas berbeda dengan keterangan Al-Lajnah Ad-Da`imah.

Pada fatwa no. 10.557 Al-Lajnah Ad-Da`imah menegaskan bahwa “Mengangkat kedua tangan pada tiap takbir.” (Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, ‘Abdurrazzaq ‘Afifi, dan ‘Abdullah bin Ghudayyan)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin berkata :

“Yang benar, mengangkat kedua tangan pada tiap-tiap takbir, demikian juga pada takbir shalat jenazah. Karena ini diriwayatkan dari shahabat ra., dan tidak ada dari Nabi Saw. riwayat yang menyelisihinya. Amalan seperti ini tidak ada kesempatan bagi ijtihad, karena itu gerakan dalam ibadah, tidaklah seorang shahabat berpegang pada satu pendapat, kecuali ada asalnya dari Rasulullah Saw. Telah shahih riwayat dari Ibnu ‘Umar ra. “bahwa beliau dulu mengangkat kedua tangannya pada tiap-tiap takbir shalat jenazah.” Bahwa diriwayatkan secara marfu’, di antara ‘ulama ada yang menshahihkan riwayat yang marfu’ dari Nabi Saw. Ada pula riwayat dari ‘Umar bin Al-Khaththab ra. : “bahwa beliau dulu mengangkat kedua tangannya pada tiap-tiap takbir shalat jenazah dan shalat ‘Id.”

Demikian juga terdapat riwayat dari Zaid. Keduanya diriwayatkan oleh Al-Atsram.”
(Asy-Syarhul Mumti’)

15. Mengucapkan Selamat pada Hari Raya

Dari Jubair bin Nufair berkata, “Dulu para shahabat Nabi Saw. jika bertemu pada hari ‘Id, yang satu mengucapkan pada lain :
Semoga Allah menerima (amalan) dari kami dan dari anda
(diriwayatkan oleh Al-Muhamili)

Syaikh Abdullah Bin Baz berkata :
“Tidak mengapa seorang muslim mengatakan kepada saudaranya sesama muslim (pada Hari Raya) : “Taqabbalallahu minna wa minka a’malana ash-shalihah”, dan saya tidak mengetahui ada nash khusus. Seorang muslim mendoakan saudaranya dengan doa yang baik, berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak.”

Penutup.

Alhamdulillah, Selesai sudah Penulisan dan penyusunan buku yang ada di tangan anda sekarang, semoga Allah memberikan hikmah dari pelajaran yang terkandung di dalam buku ini, untuk itu bagi saudaraku saya minta kritik dan sarannya, jika dalam kata-kata maupun bahasa banyak kekurangan itu merupakan keurangan saya, sebab penulis sendiri hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kekhilafan. Untuk itu kritik dan saran dari anda sangat saya harap[kan untuk penulisan saya kedepan.
Wassalamualaikum WR.WB



















Daftar Pustaka

1.Al-Qur'an Al-Karim.
2.Sunan Ad-Darimi :Syaikh Muhammad Abdul Aziz Al Khalidi.
3.Fathul Baari : Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
4.Sunan (Ibnu Majah): Muhammad Nasiruddin Al-Albani.
5.Sunan Turmudzi: M. Nasiruddin Albani.
6.Sunan An-Nasa'i: M. Nasiruddin Albani.
7.Abu Dawud : M. Nasiruddin Albani.
8.Al-Muwaththa' : Imam Malik Bin Anas.
9.Sunan Daruquthni : Imam Al-Hafidh Ali.
10.Jami'us Saghir. Muhammad Nasiruddin Albani.
11.Shahih Ibnu Hibban : Ala'uddin Ali bin Balbab Al Farisi..
12.Shahih Ibnu khuzaima: Muhammad Mushthafa Al A'zhami .
13.Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi.
14.Fiqus Sunnah. Sayyid Sabiq
15.Fiqh Wanita : Ibrahim Muhammad Al-Jamal
16.Fatwa Syaikh Abdul Aziz Bin Baaz.
17.Fatwa Syaikh Muhammad Bin Shalih Utsaimin.
18.Subbulus Salam. Ibnu Hajar Al-Asqalani.
19.Sissilah Hadits Dhoif, dan Maudu' M. Nashiruddin Albani.
20.Shilsilah Hadits Shahih . M. Nashiruddin Albani
21.Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
22.Sunan Baihaqi.
23.Masail. Ust. Abdul Hakim bin amir Abdat
24.Shahih Bukhari. KH. Bisry Dkk :
25.Shahih Muslim. KH. Bisry Dkk:
26.Fathul Majid .Hasan Alu Syaikh
27.Syarah Bulughul Maram. Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam
28.Pengantar Studi Ilmu Hadits. Syaikh Manna' Al-Qaththan
29.Bulughul Maram. Ibnu Hajar Al-Asqalani
30.Fatwa Ibnu Taimiyah
31.Nailul Al-Authar. Asy-Syaukani.
32.http://www.assunnah.or.id/
33.http://www.al-islam.com/
34.http://www.wikipedia.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar